Chapter 39

5.7K 129 10
                                    


[A Few Years Later]

Kami berdiri didepan gereja. Gereja besar yang ada dikota kami. Austin menjemputku sehabis pulang kerja. Dia bahkan tidak seperti biasanya, tidak menawariku makan dan sebagainya. Padahal aku sudah berharap begitu dia bilang dia akan memberiku kejutan, kami akan makan direstoran china yang kemarin kami bicarakan sampai aku ngidam. Ternyata kemari.

"Astaga, kau mau mengaku dosa dan mengajakku?"

"Ikuti saja- oke?"

"Memangnya boleh malam-malam begini?"

Austin tidak mempedulikanku. Kami membuka pintu gereja dengan perlahan. Didalamnya hanya ada beberapa orang yang sedang berdoa, dan sekelompok paduan suara sedang berlatih bernyanyi.

"Kau- pejamkan matamu, dengarkan aku—" katanya. aku menurutinya. "Bayangkan dirimu, dengan gaun pengantin tercantik yang pernah kau lihat. Yang seluruh orang didunia ini lihat, mengalungkan lenganmu dilengan ayahmu.." aku tersenyum mulai membayangkannya. Austin berdehem. Dia mendekatkan tubuhnya kepadaku, melingkarkan lengannya dipinggangku.

"Begitu pintu gereja ini terbuka, dan kau ada diujung pintu itu, berjalan dengan ayahmu- menggenggam sebuket bunga mawar merah yang paling indah yang pernah ada, yang paling segar. Semua orang yang ada dibangku ini— bangku gereja ini penuh dengan keluargamu. Keluargaku. Teman-teman kita, menoleh kearahmu dan mereka tersenyum, bahkan ada yang menangis haru, melihatmu berjalan dengan sangat sangat sangat sangat sangat luar biasa menawan dan cantik dikarpet merah ini.." aku menghela nafas membayangkannya.

"Lanjutkan—" kataku.

"Iringan dari organ tua milik gereja mengiringimu disetiap langkahmu menuju altar, aku disana- menunggumu. Menunggumu dengan tidak sabar, ingin segera menjadi pendampingmu- kau melihatku disana. dan juga ibumu, dan ada juga pendamping perempuanmu—kau tersenyum, menahan tangismu untuk tidak pecah ketika melihat ibumu menangis melihat dirimu yang sudah dewasa, dengan balutan pakaian seperti itu—"

"Oke—" aku terbata-bata menjawab karena aku sudah larut dalam pemikiranku sendiri. Begitu indah. Aku membayangkan bagaimana rasanya menjadi pengantin. Austin menunggu disana. dengan menggunakan tux hitamnya, begitu tampan.

"Lalu ketika kau sampai disana, sang pendeta mulai berbicara- tapi kita tidak bisa fokus. Yang kita inginkan hanyalah segera mengatakan aku bersedia, dan memasangkan cincin kejari satu sama lain.." aku tertawa pelan mendengarnya.

"Oke—kau sudah selesai?" tanyaku. Austin melepaskan kaitan lengannya dariku dan dia mundur.

"Ya- buka matamu—" ujarnya. Aku membuka mataku dan dia memandangku lembut dengan senyumnya yang selalu bertengger dibibirnya.

"Indah sekali—sungguh, aku membayangkannya—"

"Belum.." dia melarangku melanjutkan kalimatku. Austin kembali menarikku untuk mendekat dan dia merogoh sesuatu dari kantung celananya. Kotak. Berwarna biru beludru. Aku membelalakan mataku dan mundur sedikit. Wajahku memerah. Itu. Kotak itu.

"Aku tahu semuanya terlihat begitu cepat, karena memang ya- kita terlalu cepat. Tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Seperti yang kubilang, aku sudah tidak sabar ingin menghabiskan hariku bersamamu-" dia menjilat bibirnya sendiri.

"Austin..."

"Sebelum bertemu dengan dirimu, aku tidak terarah. Aku tidak tahu siapa aku. Aku tidak tahu apa mauku sebenarnya. Ini terjadi sedari aku kecil, dan sampai kau datang. Kau datang, dan mengubah segalanya dalam hidupku—kau membuatku lebih kuat—kau membuatku lebih berani, dan kau mengajarkanku segalanya.."

Happily (N)ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang