---- Austin's POV ----
Seminggu berlalu. Ayahku sama sekali tidak bicara denganku. Setiap kali aku berbicara atau mendekat, dia menjauh atau berlari naik keatas, kekamarnya- atau langsung mengambil kunci mobil lagi, meninggalkanku.
Dua minggu lagi pertandingan dimulai. Tidak seperti biasanya, aku tidak bersemangat kali ini. Aku tidak cerita kepada siapapun soal perasaanku, tapi kemungkinan besar aku akan kalah. Haley. Aku tidak cerita padanya, walau ingin rasanya aku bicara- tapi dia yang paling percaya padaku. Aku tidak mau dia kecewa atau mendengarku tidak percaya pada diriku sendiri.
Kupejamkan mataku lagi, berusaha untuk tidur tapi tidak bisa. Aku akhirnya menyibakkan selimut lalu memakai kausku lagi dan beranjak keluar. Kugratak bagian dapur, mungkin masih ada bir atau wine milik ayahku tapi tidak ada. Dengan kesal kubanting pintu kulkas dan mengusap wajahku dengan kasar.
Pikiranku penuh dengan semuanya. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa tenang. Kulirik jam dinding. Pukul 1 pagi. Ini sudah tengah malam dan aku masih juga belum bisa berhenti berpikir. Beberapa jam lagi aku harus bangun untuk kesekolah dan bertemu dengan semuanya lagi. Kupejamkan mataku, menjauhkan semua pikiran yang ada dibenakku.
Haley.
Ketika aku memejamkan mataku, dia ada disana. dengan senyumannya yang lebar. Aku membuka mataku dan untuk sepersekian detiknya aku merasa sedikit tenang. Memikirkannya membuatku tenang.
Aku berjalan kembali kekamar lalu mengambil ponsel yang ada dimeja dan menekan tombol-tombol dan menelepon. Beberapa kali tidak ada suara. Klik.
"Halo?" suaranya terdengar baru bangun dan sedikit serak
"Hei- Hale, ini aku.." aku menjilat bibirku
"Austin?"
"Ya. Dengar, aku bisa kerumahmu sekarang?" dia tidak menjawab untuk sekian detik.
"Ini masih pagi—" ujarnya, mungkin baru melihat jam. Aku menghela nafas. "Kau baik-baik saja? Ada apa?" tanyanya. Aku berusaha memakai celana jeansku dengan ponsel yang terjepit dibahuku. Aku menarik resletingku lalu mengambil kunci mobil, keluar dari kamar.
"Tidak- aku tidak baik-baik saja, aku kesana. Kau tidak bisa menolak.." dia hanya menggeram dan akhirnya setuju. Aku mematikan ponselku lalu berlari keluar dari rumah.
---- End of Austin's POV ----
"Hale?"
"Kau dimana?"
"Didepan pintu. Bisa kau bukakan?"
"Ya!" aku turun dari kasur. "Kau, jangan bunyikan bel—" aku keluar dari kamar dan berlari pelan menuruni tangga dengan ponsel masih ditelingaku. Aku berjalan pelan melewati ruang tamu yang gelap, sengaja tidak kunyalakan lampunya. Aku memutar knop pintu begitu pelan dan pintu terbuka. Dia berdiri disana dengan kaus coklat dan celana jeansnya. Matanya sungguh kelihatan lelah dan dia tersenyum. Aku menarik lengannya untuk masuk lalu mengunci pintu lagi pelan-pelan.
"Apa yang kau lakukan? Ini masih pagi buta—" bentakku berbisik. Austin hanya tersenyum dan dia meraih wajahku dan menciumnya. Lama, melumat bibirku sampai aku tidak bisa bernafas- dan membuatku tidak mau lagi membentaknya. "Apa—" hanya kata-kata itu yang keluar ketika dia menjauhkan bibirnya.
"Ayah ibumu masih tidur?" tanyanya.
"Tentu saja! Ini pukul 1 pagi, Austin—" aku menarik lengannya untuk berjalan menaiki tangga menuju kamarku. aku tahu seharusnya tidak boleh membawa pacarmu kekamar, tapi ini pukul 1 pagi, dan aku sungguh mengantuk. Kututup pintu kamarku dan menguncinya. Dia duduk ditepi ranjangku, memandang kamarku. aku melihatnya dari pintu, memeluk diriku sendiri begitu dia melihat kearahku. "Ada yang mau kau ceritakan sampai kau harus kesini sepagi ini, menggangguku tidur?" tanyaku sambil berjalan dan duduk ditepi ranjang bersamanya. Austin meraih tanganku lalu mengecupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happily (N)ever After
RomanceCinta sejati itu selalu lahir baru disetiap zaman, begitulah kata orang-orang.