Hari-hari berikutnya, kuhabiskan untuk menghindar sebisa mungkin dari Austin. Dan ini adalah hal yang paling sulit. Ya, aku marah padanya, aku kecewa, tapi aku rindu padanya. Aku melihatnya terkadang sendirian dikafetaria, atau dillapangan, bersama dengan temannya, tidak banyak bicara. Atau dikelas, duduk dipaling belakang terlihat tidak mendengarkan dan sebagainya.
Aku mengabaikan telepon dan pesan-pesan singkat yang dia kirim selama ini sampai membuatku kesal sendiri. Dia terus meminta maaf, dan bilang dia mencintaiku. Aku mengerti, dan aku tahu. Aku ingin menjambak Lucy habis-habisan tapi sikembar terus menasihatiku kalau aku anak baik, tidak sepantasnya berkelakuan seperti itu.
"Jadi aku harus diam saja begitu?"
"Masalahmu sekarang bukan dengan Lucy, missy- kau harus selesaikan dulu masalahmu dengan pangeranmu, kau tidak akan mau mengurusi perempuan macam Lucy.."
Itulah jawaban Jake setiap kali aku melihat Lucy disekolah dan aku berbisik apa aku harus menjambaknya atau menghantamnya dari belakang.
Hari ini berbeda. Austin tidak terlihat dimana-mana, dan aku tidak mendengar kabarnya darimanapun juga. Dan bagaimana kabar lengannya, apa dia baik-baik saja? Aku agak khawatir tentu saja.
Begitu aku sampai dirumah, ayah dan ibuku terlihat gelisah. Mereka memegang telepon dan saat aku masuk kedalam rumah mereka seperti ragu untuk berbicara padaku.
"Haley—"
"Hei. Ada apa? Kalian baik-baik saja?" kataku sambil berusaha tertawa. Mereka sama sekali tidak tertawa. Ayahku menarikku untuk duduk disampingnya. Mereka saling bertukar pandang.
"Haley, aku baru saja dapat kabar dari keluarga Austin.."
"Austin?"
"Ya, sayang. Umm, Austin- mengalami kecelakaan.."
Aku menahan nafasku untuk beberapa saat. Pandanganku kabur beberapa saat. Ibuku terus bicara sementara ayahku memelukku.
"Dia, mobilnya hampir menabrak sebuah truk barang, dan rupanya Austin berusaha mengelak, tapi dia menabrak jalanan.."
"Apa dia baik-baik saja?" aku masih kehilangan kesadaran.
"Kurasa. Dia ada di rumah sakit sekarang.. kau mau menjenguknya sekarang?"
"Ya!" aku berteriak. Ayahku kembali memelukku lebih dalam. "Ya, ayo- segera, aku ingin melihatnya.."
Kata dokter dia sudah sadar. Lengannya patah. Lengannya yang sehabis luka kemarin terkilir. Tidak ada yang tahu kemana dia akan pergi saat kecelakaan itu terjadi. Tidak ada kerusakan dalam tubuhnya, tetapi mobilnya rusak total. Kepala Austin terkena beberapa guncangan, mengakibatkan adanya luka, tapi itu tidak apa-apa, setidaknya begitulah yang kudengar dari dokter.
Setelah dokter itu keluar, orangtuaku dan orangtua Austin membiarkan aku berdua dengan anaknya yang masih tertidur. Kepalanya dibalut perban, begitu juga dengan lengannya. Dia terbaring tertidur pulas seperti itu, tenang- membuatku sedih.
Aku jadi teringat cerita tentang Liam dan Erica lagi, dan bagaimana Erica kehilangan suaminya- kalau benar aku dan Austin adalah generasi baru mereka, aku sungguh takut. Aku tidak mau kehilangan dirinya. Kucengkram pinggiran ranjang sambil menyentuh pipinya.
Alat-alat monitor medis berbunyi dengan tenang, seiring dengan hembusan nafas Austin yang terlihat stabil. Seketika aku perlahan lupa apa yang telah terjadi beberapa hari yang lalu saat kami bertengkar. Tidak sepenuhnya lupa, tapi ini lebih penting daripada pertengkaran kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happily (N)ever After
RomanceCinta sejati itu selalu lahir baru disetiap zaman, begitulah kata orang-orang.