[Austin's Part]
"Ayah—" ujarku saat aku menongolkan sedikit kepalaku dipintu. Kulihat dirinya sedang sibuk membolak-balik map, dia menoleh sedikit dan menyuruhku masuk. Aku kemari hari ini untuk memberitahukannya bahwa aku akan bertanding dibabak penyisihan besok, dan semoga- walau kemungkinannya kecil, dia bisa datang untuk sekedar mendukungku.
"Ada apa kau kemari? Kau tidak sekolah?" tanyanya. Aku duduk dibangku dihadapannya. Ayah menutup semua map dan menumpuknya asal lalu melipat tangannya didada melihatku.
"Ini sudah sore, aku sudah pulang-" ujarku. Ayahku mengerutkan dahinya lalu melirik arlojinya dan dia menghela nafas. "Ayah, minggu ini- kau tahu liga sekolah, akan mengadakan kompetisi liga tahunan- dan, minggu ini—aku akan bermain dibabak penyisihan.." ujarku pelan. Ayahku tidak bergerak, tidak berkomentar apa-apa. Aku memajukan tubuhku dan menjelaskan lagi. "Kalau aku menang, team kami akan maju ke semi final—dan.."
"Aku ada rapat dengan yayasan minggu ini—" potongnya langsung. Aku menghela nafas, melihat wajahnya yang masih berkerut tidak senang menatapku. Seperti biasa, dia selalu mencari alasan untuk tidak datang. "Bicaralah pada ibumu, mungkin dia bisa datang-" katanya lagi. Dia mengelap kacamatanya, tidak peduli melihat wajahku yang kecewa. Aku mengangguk. Tidak ada gunanya lagi aku disini.
"Kalau begitu, aku permisi- kuharap kau pulang kerumah malam ini-" ujarku pelan. Dia tidak menjawab. Ayah dan ibuku jarang sekali pulang kerumah. Mereka terbiasa diam sampai malam, menginap dikantor dan hanya pulang untuk berganti baju atau sekedar memberiku uang. Aku bangkit dari dudukku dan tanpa bicara lagi berjalan menuju pintu.
"Austin-" panggilnya sebelum aku keluar. Aku menoleh. Dia membuka laci bawahnya lalu memberikan sebuah map hijau bertuliskan 'Universitas Kedokteran' besar dengan lambang universitasnya. "Aku sudah mendapatkan formulir untukmu, ini—" katanya. Aku menerimanya dan membuka map tersebut. Terpampang tulisan mengenai sejarah dan seluk-beluk universitas tersebut beserta dengan gambar-gambarnya. "Kau belajarlah yang baik—jangan bermain bola terus, ini menentukan masa depanmu, Austin.." ujarnya sambil lalu, dia kembali membuka map-map yang tadi sempat tertunda dibacanya. Aku menatap kosong lembaran demi lembaran kertas tersebut. "Kau dengar aku?" tanyanya lagi setelah aku tidak meresponnya sekian lama. Aku mengerjap.
"Yeah-" ujarku pendek lalu segera keluar. Sesampainya dilobi aku membuang map tersebut lalu langsung berjalan menuju bar. Aku butuh minum, sendirian. Bartendernya sudah tahu apa yang akan aku pesan. Selagi menunggu minuman, aku mengecek ponselku, untuk memberi kabar pada Haley aku baik-baik saja. Dan segera dia membalas sebentar sebentar, aku sedang menonton- sorry. Aku tersenyum membacanya. Dikala dia sibuk dia selalu berusaha sopan terhadapku.
Minumanku pun sampai. Aku mengucapkan terimakasih lalu menyesapnya pelan. Aku memejamkan mataku, efeknya agak keras untukku. "Ahhh-" aku berdesah saat minuman itu turun dari kerongkonganku. Aku mencoba meneguknya lagi, lebih perlahan sekarang, dan lama-lama mulai terbiasa seperti dahulu lagi. Sejenak aku berpikir tentang ayahku.
Dia tidak pernah mengerti apa mauku dari dulu. Aku selalu mengikutinya, sekolah disana, sekolah disini, kursus ini, kursus itu. Sampai sekarang dia masih mengaturku. Kuingat benda yang kubuang- map yang diberikan ayahku tadi, dia pasti marah besar kalau sampai tahu aku tidak mengisi dan mengirimnya. Aku menghela nafas. Sekolah memberikanku beasiswa penuh untuk sekolah atlet karena prestasiku di football sedari junior, ayahku tidak tahu mengenai ini. Dia hanya menganggap ini adalah hobby, tapi ini lebih dari itu. Aku begitu suka bermain. Aku merasa senang berada dilapangan. Aku merasa lepas. Tapi ayahku tidak pernah tahu soal itu, dia jarang dirumah- jarang berbincang denganku- dan tidak pernah melihatku bermain. Dia menganggap football hanyalah sebuah permainan, tidak akan bertahan lama, dan tidak sepenting pendidikan. Mungkin ya, tapi bagiku ini adalah segalanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Happily (N)ever After
Любовные романыCinta sejati itu selalu lahir baru disetiap zaman, begitulah kata orang-orang.