Erica memandang wajah suaminya yang sedang memejamkan mata, berusaha untuk tidur ditempat tidur baru mereka yang tidak sebesar dulu. Sudah beberapa bulan mereka tinggal dirumah penduduk biasa- teman Liam dulu, keluarga anak yang waktu itu Erica lihat saat dia dan Liam berkeliling saat pernikahannya waktu itu. Mereka hanya tinggal berdua- untuk sementara kamar Matias, nama anak itu- dipakai oleh Erica dan Liam.
"Berhenti melihatku dan pejamkan matamu, manis—" kata Liam- masih tidak bergerak dan tidak membuka matanya. Erica hanya tertawa pelan lalu merapatkan tubuhnya kearah Liam, Liam mempererat pelukannya.
"Aku tidak bisa tidur—" ujar Erica pelan. Liam membuka matanya. "Kau juga sepertinya.." lanjutnya saat dia mendongak dan melihat Liam sedang memandangi langit-langit. Erica ikutan memandang langit-langit yang hanya dihiasi lampu yang sudah padam. Suasana malam hari ini begitu sepi, hanya terdengar suara angin dingin yang berhembus dijendela, dan terkadang jangkrik yang berbunyi.
"Ini sudah dua bulan. Dan aku belum melakukan apa-apa.." ujarnya. Erica tidak menjawab. Sudah dua bulan semenjak kepergian mereka dari kerajaan dan membiarkan Louis memerintah rakyat John dulu. "Rakyat kita- mereka tidak memberontak—maksudku, sudah jelas Louis bertindak kasar kepada mereka. Menutup tempat-tempat perbelanjaan, menurunkan upah pekerja, menaikkan lagi pajak—apa yang membuat mereka tidak juga bertindak—" katanya.
"Mungkin mereka butuh orang yang benar untuk membantu mereka—" kata Erica sambil memainkan jarinya diperut Liam. "Maksudku, kau– kau adalah calon Raja yang sah dikerajaan Liam, semua orang tahu-"
"Kenapa mereka tidak memberontak—"
"Kenapa kau tidak memberontak?" Erica balik bertanya. Liam menoleh melihat kearah istrinya yang sudah lagi tidak berada dipelukannya. Erica menegakkan posisinya, menyibakkan selimut tipis yang menutupi sebagian tubuhnya. "Liam- aku tidak tahan lagi melihat keadaan kita dan keadaan rakyat disini—ini saatnya.." ujarnya. Liam ikutan bangkit dari posisinya, ikut menyibakkan selimut tipis tersebut.
"Aku tidak punya pasukan, bagaimana aku bisa melawan dia?"
"Seluruh rakyat adalah pasukanmu, Liam- dan lagi, aku percaya kau bisa.." Liam mengerang frustasi.
"Anggaplah begitu, kami tidak punya senjata- dan sebagainya. Bagaimana menurutmu?"
"Kita punya Ashley dan ibuku dikerajaan—" Liam mengerutkan alisnya. "Ashley akan datang seperti biasa untuk berkunjung esok tengah malam buta- aku sudah membicarakan tentang perebutan kekuasaanmu kembali saat kunjungan terakhirnya—" Erica memelankan suaranya. "Dia akan membantu kita—"
"Tidak!" Liam memotong dengan jelas. "Aku tidak mau keluargamu terlibat. Tidak ada seorangpun yang terlibat, tidak!" bentaknya. Erica mundur sedikit, menyadari suaranya terkesan kasar Liam menghela nafas lalu menarik tangan Erica dan menggenggamnya. "Aku tidak ingin orang yang berada disekitar kita menjadi korban atas semua ini- kau mengerti? Ayahmu, Brad- sebagian dari prajurit kita—" katanya. Erica menunduk mengingat kematian ayahnya sendiri dan Brad yang disaksikan didepan matanya.
"Rakyat akan membantumu—" kata Erica bersikeras. Liam menghela nafas terlihat lelah. "Liam- ini kerajaanmu! Kau harus merebutnya kembali! Demi rakyatmu—demi masa depan kita—" Erica meraih wajah Liam dan menangkupnya. Tatapan matanya yang lelah membuat Liam menelan ludah. Dia benar. Ini wilayah kerajaanku, ini rakyatku- pikir Liam.
"Apa yang Ashley dan dirimu rencanakan?" tanyanya akhirnya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Happily (N)ever After
RomanceCinta sejati itu selalu lahir baru disetiap zaman, begitulah kata orang-orang.