"Daaaaan cut! Kita selesai hari ini. Haley, good job!" Jake berteriak dengan sangat puas. Aku menghapus air mataku sendiri, merinding. Austin bangun dari tidurannya dipangkuanku dan melihat wajahku yang basah.
"Hei-" dia meraih wajahku dan menghapus air mataku yang masih tersisa dipipi. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya saat melihat mataku masih tergenang air mata. Aku tidak menjawab, hanya menempelkan bibirku dibibirnya dan menariknya ketubuhku begitu erat sampai-sampai dia hampir mendorongku. Aku menatapnya saat aku menjauhkan bibirku darinya. Kusentuh bibirnya, lehernya dan dadanya. Dia hidup.
"Haley, kau baik-baik saja?" Austin kembali bertanya saat aku hanya terlihat bingung dan shock sehabis kami latihan tadi.
"Tidak—" ujarku lirih. "Kau—tadi—aku merasakan dirimu, benar-benar hilang- dihadapanku. Benar-benar meninggal—" kataku. Austin mengerutkan dahinya. Kucengkram kerah bajunya erat-erat. "Kau meninggalkanku—rasanya sungguh nyata!" aku berbisik. "Seakan aku dan kau benar-benar mengalaminya—"
"Haley- kita sedang bermain drama, lihat?" dia menoleh kebelakang. Aku tidak mengikutinya.
"Ya- tapi.." Austin tidak mengizinkan aku bicara. Dia hanya menempelkan bibirnya dibibirku, meraih belakang leherku, menekannya.
"Aku selamat, oke? Apa yang kau rasakan tadi, hanya penjiwaanmu- aku hidup, kau lihat?" dia menempelkan keningnya. Aku menatapnya. "Aku baik-baik saja, tidak ada yang terluka atau apapun—" Dia meraih kedua tanganku dan menempelkannya diwajahnya. "Kau rasakan kan?" dia lalu menaruh kedua tanganku didadanya, jantungnya berdenyut. Aku bernafas lega. "Aku baik-baik saja— ayo kita pulang.."
Tadi begitu nyata. Saat aku memerankannya seakan aku merasakannya, Liam, karakter Austin mati dihadapanku. Dan yang lebih parah, dibayanganku Austin yang mati disana. aku tidak pernah melihat Liam (karena memang dia tidak nyata) tapi Austin disana- berdarah, begitu lemah dipangkuanku.
Mungkin hanya perasaanku saja karena aku terlalu menjiwai seperti kata Austin tadi, tapi aku tidak mau melepaskannya malam ini. Aku tidak ingin dia pergi meninggalkanku. Aku mau dia bersamaku malam ini, setidaknya meyakinkanku bahwa dia memang ada disampingku- bersamaku.
"Kau tidak banyak bicara—" setelah beberapa menit hanya tiduran berpelukan dikursi belakang mobil, Austin membuka mulut. "Masih kepikiran?" tangannya mengelus wajahku. Aku mengangguk. "Hale, sudah kubilang—"
"Itu hanya dongeng, aku tahu—" potongku. Aku mendekat kearahnya, menaruh tanganku menyusuri lengan dan dadanya, menyentuhnya seakan meyakinkan dia masih hidup "Tapi aku merasakannya, Austin. Aku benar-benar seakan merasakannya, kau dan aku—" aku berhenti bicara karena Austin menciumku.
"Tidak penting—yang penting kita bersama sekarang, hmm?" dia mengangkat alisnya.
"Jangan pergi malam ini—" kataku menarik kemejanya. "Jangan tinggalkan aku—"
"Kau mau aku menginap?"
"Aku takut, Austin.." kataku pelan. Austin melihatku yang masih dibawah pengaruh pikiranku tadi. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kau masih ada- disampingku, aku tidak ingin mengingat lagi apa yang aku rasakan tadi—tidak.." Austin meraihku, mendekapku dipelukannya.
"Kalau begitu aku tidak akan kemana-mana.." dia menyentuh hidungnya dengan hidungku. "Aku tidak akan kemana-mana, oke? Sekarang jangan pikirkan apapun lagi- karena aku disini.."
"Bagaimana kalau aku bermimpi tentang itu semuanya?"
"Tidak akan, karena aku akan menghapus mimpi burukmu, melawannya sebisaku..."
"Dengan apa?" tanyaku tertawa pelan
"Tangan kosong—aku cukup kuat—" dia menaruh dagunya dipucuk kepalaku. "Tidurlah—kau yakin ayah ibumu tidak mencarimu?" tanyanya.
"Aku tidak peduli. Aku akan karang alasan begitu aku sampai rumah besok—" ujarku memejamkan mata, menghirup aroma tubuhnya. Kuletakkan telapak tanganku didadanya, tepatnya dijantungnya- memastikan bahwa denyutnya akan selalu ada disana.
- To Be Continued -
KAMU SEDANG MEMBACA
Happily (N)ever After
RomanceCinta sejati itu selalu lahir baru disetiap zaman, begitulah kata orang-orang.