Jumat malam. Aku dan Austin sudah berada dirumahnya. Aku tidak banyak bicara sepanjang perjalanan maupun saat sudah dirumah, saat Austin sudah berganti baju dan kembali memesan makanan untuk kami. Aku mengenakan gaun malamku didalam baju luarku. Rasanya sungguh aneh- aku sendiri bercermin sebelum aku mengenakannya dan menghela nafas setiap kali melihat wajahku menatap cermin.
"Haley- kau baik-baik saja?" tanyanya saat selesai memesan makanan. Aku menoleh dari dekat jendela yang memaparkan pandangan malam yang berkelap kelip karena lampu diluar. Austin berjalan mendekatiku, dia masih menggenggam telepon genggamnya. "Kau tidak bicara semenjak perjalanan—" katanya. Austin menyelipkan rambut kebelakang telingaku lalu merapatkan tubuhnya. "Kau sakit?" tanyanya, dia mendekatkan keningnya kepada keningku lalu memejamkan matanya. Aku melihatnya dari jarak begitu dekat. Matanya terpejam, begitu manis. "Kau tidak hangat—ada apa?" katanya lagi. Aku menggeleng. "Katakan padaku, apa yang menganggu pikiranmu.." katanya sambil sesekali mencium pelupuk mataku. Aku tertawa pelan.
"Tidak—aku tidak apa-apa.." ujarku. Austin menekanku lagi kekaca jendela lalu mengangkat daguku, agar matanya bertemu dengan mataku. "Aku baik-baik saja.." ulangku saat dia menaikkan alisnya memintaku bicara lagi. Austin sempat menatapku sebentar, merasa tidak yakin lalu dia menciumku. Menyatukan jari-jarinya dengan jari-jariku dan meremasnya. Aku membalasnya pelan, dia mendorongku lagi. Dengan enggan akhirnya Austin menjauhkan wajahnya.
"Oke—" katanya tersenyum setelah dia melihat wajahku merona, dan dia yakin aku baik-baik saja. Dia berbalik badan menjauh.
"Boleh kupakai kamar mandimu?" tanyaku. Menurutku ini saatnya. Dia mengangguk seiring dengan dibunyikannya bel rumahnya. Aku buru-buru menghilang ditikungan setelah kulihat Austin membukakan pintu. Begitu sampai ditoilet aku melepas bajuku lalu tinggallah aku dengan gaun malamku. Aku memeluk diriku sendiri saat kurasakan tubuhku menggigil. Aku berkaca dan kulihat pantulan diriku. Begitu terbuka. Begitu merona. Kubetulkan rambutku agar mengembang jatuh lalu menarik nafas dalam-dalam. Kucengkram wastafel dengan kedua tanganku agar aku bisa memajukan wajahku untuk melihat bayanganku lebih jelas. Wajahku merah. Aku menghela nafas.
"Hale? Makanannya sudah datang—" dia mengetuk pintu toilet dan aku terlonjak kaget.
"Umm, ya-aku.. akan keluar, sebentar..." jawabku. Kudengar dia kembali menjauhi pintu. Aku menatap langit-langit, bertanya sebentar kepada Tuhan, apa yang aku lakukan- lalu aku menghela nafas, kembali menatap diriku dicermin sekali lagi lalu aku keluar, membuka pintu toilet dengan perlahan.
Aku berjalan pelan-pelan seperti seseorang yang hendak mencuri, begitu sampai diruang tadi- kulihat Austin belum melihatku. Dia sedang sibuk membuka kotak makanannya dan membetulkan letak sumpit ditangannya, lalu dia menoleh- menunduk- lalu menoleh lagi dengan cepat kearahku. Terkejut. Dia terkejut.
Aku nyengir ketika dia tidak bergerak menatapku. Aku berjalan mendekatinya. Ruangan begitu dingin, aku ingin memeluk diriku sendiri tapi kutahan.
"Hei—"
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya, alisnya berkerut. Aku tidak menjawab. Austin melihatku dari atas kebawah, dia tersenyum tapi dia tidak bergerak. "Apa yang kau—" dia mengulangi pertanyaannya lagi. Aku tidak menjawab. Kupandangi dia dengan kikuk- aku berdiri disana, didepannya diam tidak bergerak seperti patung. Austin berjalan kedepanku lalu dia melipat kedua tangan didadanya, menunduk melihatku. "Baju apa itu? Kau tahu kau dirumah anak lelaki?" dia terdengar seperti ayahku. Aku menghela nafas.
"Kau suka? Aku membelinya untukmu-" kataku memaksakan diri mengalungkan tanganku dipinggulnya. Austin tidak menyentuhku, tangannya masih terlipat didada, matanya menatapku tajam. Apakah dia marah? Kenapa?

KAMU SEDANG MEMBACA
Happily (N)ever After
RomanceCinta sejati itu selalu lahir baru disetiap zaman, begitulah kata orang-orang.