alnata 35

420 78 33
                                    

bnyk typo

🌹

⚠️  part yg ini lbh bnyk kata kasar dari ya sebelumnya. jgn d tiru ntar dpt dosa

****

Nata terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Ia duduk di tempat tidur, memegang kepalanya yang terasa berat. Tatapannya beralih ke samping, memastikan kedua anaknya masih tertidur pulas. Perlahan, ia turun dari tempat tidur, melangkah keluar menuju ruang tamu.

Jarum jam menunjukkan pukul empat pagi. Suasana rumah sunyi, hanya terdengar detak jarum jam dan hembusan napasnya yang masih tersendat. Nata duduk di sofa, memeluk dirinya sendiri. Air matanya jatuh tanpa suara, membasahi pipinya

"Al... kamu gak khianati aku, kan?" bisiknya lirih.

"Kenapa kamu lama jemput aku dan anak-anak?"

"Kamu belum dapat informasi tentang kami? Atau memang kamu gak mau tahu? Atau kamu udah bahagia dengan pilihan kamu, seperti di mimpi aku tadi?"

Tangisnya semakin dalam, tapi tetap dalam diam. Dadanya sesak, sakitnya menusuk hingga ke tenggorokan. Ia menekan dadanya, mencoba meredakan perih yang tak hanya terasa secara fisik, tapi juga di hatinya.

"Kamu yang nyuruh aku nunggu, Al..."

Tiba-tiba, suara langkah kecil terdengar dari arah kamar. Nata buru-buru menghapus air matanya ketika melihat putranya, Elvano, berdiri di ambang pintu dengan wajah mengantuk.

"Dadda kenapa? Nangis?" tanya Vano polos, berjalan mendekat.

Nata tersentak. Senyum dipaksakan terbit di wajahnya. "Vano, kok bangun?" tanyanya lembut.

"Tadi Vano mau peluk Dadda, tapi Vano gak lihat Dadda di samping. Makanya Vano bangun cari Dadda."

Nata merasa bersalah. Ia menarik putranya ke dalam pelukan, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. "Maaf sayang, Dadda bangun duluan. Kan mau masak bekal buat Vano dan Kakak."

Mata Vano berbinar. "Ayo Vano bantu Dadda masak" katanya penuh semangat.

Nata tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Vano balik tidur lagi aja, ya? Temani Kakak. Kasihan nanti Kakak kaget kalau gak ada Vano atau Dadda di samping."

anak itu menatap Nata sejenak sebelum bertanya dengan polos, "Dadda gak apa-apa kalau Vano tinggal?"

"Enggak, sayang." Nata kembali memeluknya, menahan agar air matanya tak jatuh lagi.

Vano akhirnya mengangguk pelan. "Vano pergi temani Kakak. Tapi Dadda jangan nangis, ya? Vano gak suka lihat Dadda nangis."

Nata tersenyum lembut, mengusap pipi kecil anaknya. "Iya, sayang. Tadi mata Dadda cuma kelilipan, kok, bukan nangis."

Vano mengamati wajah daddanya sejenak, lalu kembali ke kamar. Nata menatap punggung kecil itu hingga menghilang di balik pintu.

Di antara dua kembar, Vano memang lebih pandai bicara. Bahkan, ia sudah lebih dulu masuk sekolah dasar karena akselerasi. meskipun sebenarnya Vana adalah kakaknya. Namun, Vana sering sakit, membuat Nata tidak tega memaksanya bersekolah.

Berbeda dengan Vano, anak sekecil itu bahkan lebih memilih belajar dari pada bermain dengan kembarnya. Dai mau bermain kalau vana sudah menangis karena mau bermain Bersama.

(tapi untuk anak seumuran mereka memang masih TK)

Kedekatan mereka membuat hati Nata hangat, tapi di sisi lain, ia tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa mereka tumbuh tanpa sosok ayah.

Siangnya, setelah mengantar kedua anaknya ke sekolah Vana ke TK dan Vano ke SD Nata kembali ke kontrakannya. Ia duduk diam di teras, menatap kosong ke jalanan yang sepi. Pikirannya melayang jauh, kembali pada mimpi yang mengganggunya tadi subuh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AlnataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang