alnata 17

1K 54 1
                                    

bnyk typo

🌹

****
Alvaro terbangun saat merasakan deru napas Nata yang mengenai lehernya. Napas itu terasa panas, membuatnya langsung merasa cemas. Ia menyentuh dahi Nata dengan lembut, dan ternyata suhu tubuhnya tinggi.

Dalam keadaan tertidur, Nata masih memeluknya erat. Dengan hati-hati, Alvaro melepaskan pelukan itu dan bangkit perlahan dari tempat tidur, memastikan gerakannya tidak mengganggu tidur Nata. Ia melirik jam di dinding pukul 08.00 pagi.

Setelah mencuci muka di kamar mandi, Alvaro keluar kamar dan melihat maid sedang sibuk menyiapkan sarapan.
"Siapkan air dingin dan kain untuk kompres," katanya singkat.

Maid itu mengangguk dan segera menjalankan perintah. Setelah semuanya siap, Alvaro membawa perlengkapan kompres itu kembali ke kamar.

Di dalam, Nata masih tertidur lelap. Dengan gerakan pelan, Alvaro mulai mengompres dahi Nata, berusaha agar tidak membangunkannya. Namun, Nata perlahan membuka matanya dan menatap Alvaro dengan pandangan lemah.

"Kenapa, Al?" tanya Nata dengan suara serak.

"Badan lo panas. Gue bantu kompres biar demamnya turun," jawab Alvaro dengan nada tenang.

Nata mencoba bangkit, tapi langsung merasakan sakit di kepalanya. "Ehh... nggak usah, gue bisa sendiri," katanya sambil mengerang pelan.

"Udah, jangan banyak gerak. Lo masih demam," ujar Alvaro sambil menahan Nata agar kembali berbaring.

Nata menyerah dan kembali merebahkan dirinya. Ia membiarkan Alvaro melanjutkan mengompres dahi dan lehernya. Setelah selesai, Alvaro menarik selimut lebih rapat ke tubuh Nata.

"Lo tidur lagi aja. Ntar gue bangunin kalau udah waktunya makan," ucap Alvaro.

"Makasi, Al," ucap Nata pelan.

"Hmm," balas Alvaro singkat sambil berdiri, lalu keluar dari kamar.

Di dapur, Alvaro langsung menuju kompor untuk membuatkan bubur. Maid yang sedang sibuk membereskan meja sarapan mendekat.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanyanya sopan.

"ngga ada" jawab Alvaro tanpa menoleh

"Tuan, biar saya saja yang masak," kata maid itu ketika melihat Alvaro mulai memotong bahan-bahan.

"kamu punya tugas lain. saya bisa urus ini sendiri," tegas Alvaro sambil melanjutkan pekerjaannya.

Setelah bubur selesai, ia menuangkannya ke mangkuk, memastikan teksturnya lembut dan rasanya pas. Ia membawa bubur itu ke kamar, menemui Nata yang masih terbaring.

"Nat, gue bawain bubur. Bangun bentar," kata Alvaro sambil meletakkan mangkuk di meja samping tempat tidur.
Nata membuka matanya perlahan, menatap Alvaro dengan senyum tipis. Meski masih lemas, ia merasa lebih baik dengan perhatian yang diberikan Alvaro.

Alvaro duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan Nata yang perlahan bangkit untuk makan. "Bisa makan sendiri?" tanyanya lembut sambil memperhatikan raut wajah Nata.

Nata mengangguk dengan lemah. " bisa kok," jawabnya sambil mengambil sendok dan mulai makan pelan-pelan.

Alvaro tetap duduk di tempatnya, memperhatikan setiap gerakan Nata untuk memastikan dia baik-baik saja. Tak lama kemudian, terdengar ketukan pintu.

"Permisi, Tuan," suara seorang maid terdengar dari balik pintu.

"Masuk," jawab Alvaro.

Maid itu masuk dengan membawa sebuah nampan kecil berisi obat. "Ini, Tuan, obatnya," katanya sambil menyerahkannya pada Alvaro.

Alvaro menerima obat itu dengan anggukan singkat. "Terima kasih. Kamu bisa kembali ke tugasmu," ujarnya.
Maid itu membungkuk sopan sebelum keluar dari kamar.

Setelah Nata selesai makan, Alvaro membantu memberikannya segelas air dan obat. "Minum obatnya, biar cepet sembuh," katanya sambil menunggu Nata menghabiskan airnya.

Nata mengangguk pelan. "Makasih, Al," ucapnya dengan suara lemah setelah selesai minum obat.

Alvaro hanya mengangguk kecil, lalu berdiri untuk mengambil ponselnya. Dia berjalan menuju sudut ruangan dan menelpon sekretarisnya

"Halo, Davin. Batalkan semua jadwal saya untuk hari ini. Ada hal yang harus saya selesaikan," perintah Alvaro dengan nada tegas.

"Baik, Pak," jawab Davin singkat.
Alvaro melanjutkan, "Bagaimana dengan dokumen pengalihan kontrak kerja sama yang kemarin?"

"Dokumen itu sudah siap, Pak. Apa saya perlu mengirimnya untuk bapak review?" tanya Davin.

"Enggak perlu. Kamu serahkan ke Brayan dan Daniel. Biarkan mereka bahas dan selesaikan dulu. Hasil pembahasannya langsung laporkan ke saya," jawab Alvaro sambil memeriksa jam tangannya.

"Baik, Pak. Saya akan koordinasikan dengan mereka," jawab Davin sebelum sambungan telepon berakhir.

Setelah selesai menelpon, Alvaro kembali duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan Nata yang sudah terlihat sedikit lebih segar. Ia menghela napas pelan sebelum berbicara.

"Kalau nggak kuat minum, jangan kebanyakan minum. Ujung-ujungnya lo sakit begini" katanya dengan nada sedikit tegas namun lembut.

Nata mendengus kecil, membantah "gue kuat, al. Cuma nggak tahu kenapa semalam jadi begini"

Alvaro menaikkan alisnya. "Kuat sampai tepar kayak semalam, gitu?" balasnya tajam namun tetap menjaga nada bicara.

Nata terdiam sejenak, merasa bersalah. "Maaf kalau gue nyusahin lo semalam," katanya lirih

Alvaro menggeleng. "Lo nggak nyusahin, Nat. Tapi kalau gue tahu akhirnya lo bakal sakit kayak gini, gue nggak akan izinin lo minum semalam," ucapnya jujur.

"Ihh, nggak boleh gitu. Gue juga pengin ikut senang-senang, Al," bantah Nata dengan nada manja.

Alvaro menatapnya serius. "Dengerin gue. Kalau nggak ada gue, jangan pernah lo minum, apalagi minuman keras sampai mabuk."

Nata memutar bola matanya, mencoba bercanda. "Ya masa gue harus ke bar bareng lo terus?"

Alvaro terdiam mendengar itu. Tatapannya berubah sedikit muram, menyadari bahwa ia sebenarnya tidak punya hak untuk melarang Nata. Ia hanya takut. Takut jika Nata mabuk lagi dan tidak ada yang menjaganya. Takut Nata terseret masalah atau, lebih buruk lagi, dibawa oleh orang yang tidak dikenal.

Melihat Alvaro terdiam, Nata merasa bersalah. Mungkin Alvaro berkata seperti itu karena takut dia menyusahkannya lagi, bukan karena ingin mengontrolnya. Ia pun mengangguk pelan. "Iya, gue ngerti, Al. Gue nggak akan mabuk kalau nggak ada lo di samping gue," katanya dengan tulus.

Mendengar itu, Alvaro langsung menatapnya serius. "Beneran? Jangan mabuk kalau gue nggak ada, Nat. Janji?"

"Iya, gue janji," jawab Nata sambil tersenyum kecil.

Alvaro mengulurkan jari kelingkingnya, matanya masih menatap Nata dengan penuh keyakinan. "Janji."

Nata tertawa kecil, lalu menyambut jari kelingking Alvaro dengan miliknya. "Janji."

Mereka saling mengaitkan kelingking dengan senyum yang perlahan merekah di wajah masing-masing, menciptakan kehangatan di pagi yang sebelumnya penuh kekhawatiran.

Nata menatap Alvaro yang masih duduk santai di tepi tempat tidur, tampak lebih santai dari biasanya. "Lo nggak ke kantor hari ini?" tanyanya heran.

Alvaro tersenyum kecil sambil menggeleng. "Nggak. Mau libur sehari dulu. Capek kerja terus," jawabnya santai.

Nata mengerutkan kening, tak percaya. "Mana bisa gitu"

Alvaro tertawa kecil. "Bisa lah. Gue kan bosnya," katanya sambil menyandarkan punggung ke kursi.

"Sombong banget," balas Nata

Alvaro tersenyum "Bukan sombong, Nat. Kenyataan,"

Nata memutar bola matanya “iyain biar senang”

Tawa Alvaro kembali terdengar, memenuhi suasana kamar yang sebelumnya sunyi. Hari itu memang ia putuskan untuk sepenuhnya ada di sisi Nata, meninggalkan rutinitas kantornya untuk sementara.

****
🌹

AlnataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang