Frustasi

9.2K 737 38
                                    

Bacanya sambil dengerin lagu sedih, ya!

***
-ALI-
Gue merasa dunia berhenti berputar.

Gue merasa paru-paru gue berhenti memasok oksigen.

Gue merasa jantung gue berhenti berdetak.

Prilly... Sekarat.

Gue menatap pintu ruang operasi yang sedaritadi menutup dan tak kunjung terbuka.

Berbagai pikiran negatif langsung bersliweran di dalam otak gue. Bagaimana kalau Prilly sampai pergi? Bagaimana kalau dia ninggalin gue?

Gue nggak sanggup. Gue nggak mau.

"Ali.. Sadar, Li. Jangan ngelamun terus, dong." Kaia sudah berusaha berbicara dengan gue. Tapi gue menolak.

Yang sekarang gue inginkan adalah dokter keluar dari ruang operasi itu dan mengatakan bahwa cewek yang gue sayang itu selamat dan berhasil melewati masa kritisnya.

Apa itu terlalu muluk?

"Ali.." Panggil Kaia lagi. "Duduk di kursi, jangan duduk di lantai. Dingin, tau.." Ucapnya.

Dingin? Gue nggak ngerasa dingin, tuh. Gue merasa sakit.

Gue sakit ngeliat Prilly.

Tadi, sewaktu dia di bawa ke ruang operasi, gue melihat wajahnya yang sudah berdarah di mana-mana.

Gue nggak kuat. Gue nggak sangguo liat dia seperti itu.

"Ali," Kaia mengusap kepala gue. "Lo jangan gitu terus dong. Masa daritadi gue ngomong di kacangin?"

Gue nggak peduli.

"Li," Kini ganti suara Kak Nayla. Sepertinya dia sudah kembali dari kamar rawat Kak Ricky. "Turutin apa kata Kaia. Badan lo bisa sakit semua kalo duduk di lantai semalaman."

"Gue.. Nggak peduli." Gumam gue dengan suara serak. Wajah gue pasti udah kusut. Seharian gue nyetir, belum makan, dan juga belum mandi.
Kenapa gue harus dihadapkan dengan masalah yang beruntun kayak gini, sih? Gue salah apaan?

"Lo nggak bisa gini terus. Gue yakin, kalo Prilly di sini, dia juga pasti nyuruh lo nggak duduk di lantai kayak gitu." Kata Kak Nayla.

Ha. Gue nggak akan duduk di lantai seperti ini kalo Prilly nggak di dalem ruang operasi.

Gue jadi teringat percakapan gue sama Prilly yang terakhir. Kita.. Belum sempat baikan. Gue ngebentak dia karena gue terlalu panik dan emosi waktu itu.

Gue menyesal.

Seharusnya gue baikan sama dia lebih awal. Kalo udah gini, gue makin takut kalo gue nggak akan bisa liat wajahnya lagi dan ngomong ke dia kalo gue menyesal udah marah-marah ke dia. Padahal dia udah peduli sama gue. Padahal maksudnya itu baik.

Gue emang bego banget. Gue bodoh.

"Bego.. Dasar lo bego, Li.." Gue menjambakki rambut gue sendiri sambil mengerang frustasi.

"Ali, lo kenapa sih? Apanya yang bego?" Kaia berlutut di samping gue sambil menahan tangan gue.

"Gue bego.." Gumam gue.

"Kenapa? Cerita sama gue, Li. Jangan dipendem sendiri. Lo bisa meledak nanti."

Gue menatap Kaia dengan wajah lesu.
"Gue belum baikan sama Prilly. Gue kemaren ngebentak dia. Dan gue nggak ngomong lagi sama dia sejak waktu itu.."

Gue udah nggak peduli kalo Kak Nayla dan Kaia bakalan curiga. Harusnya mereka tau kalo gue cinta banget sama Prilly. Karena kalo gue nggak cinta sama Prilly, mana mungkin gue sampe duduk di sini dan diem aja kayak orang gila?

To Be With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang