Lukisan Hidup Itu Bernama; Kenangan

15 0 0
                                    

Senja
Sepatah kata yang seperti melukiskan indah senyum mentari
Menyampaikan salam pisahnya kepada hari
Cukup dia berikan cahaya kehidupan
Saatnya sang bulan menggantikan
Dengan semburat ungu cahaya kesejukannya
Dan juga tempatku melabuhkan segala kerinduanku tentangnya
Tentang sebuah tanya yang tak terungkapkan kedalam segala bahasa

Senja
Kuingin habiskan berdua
Duduk menatap saat mentari membiaskan cahaya temaram
Disini
Aku mau disini bersamamu
Melepas rindu
Anggaplah yang lalu berlalu
Bersama sahut padu pada cericip burung gereja
bersama desir angin
menyapu
membelai
Di ujung pucuk puncak cemara yang kuning
seolah menari, tarian mistis yang hanya angin sendir yang memgerti
Pucuk cemara, entah apa menjadi kuning seperti kataku tadi
Di terpa bias mentari
Senja

Senja
Malam kini menjelang
Masihkah kita bisa berdua
Bisakah kita bertahan hingga larut
Bagai seorang kanak yang menikmati gulali mencairnya di tangan sang emak
Aku ingin bersama
Sedekat itu
Kecaplah aku, gulali itu sampai kau puas
Meski kan hilang ragaku
Cumbulah, cumbulah aku meski ku tahu itu tak akan mengentaskan rasa perih dan dukamu
Aku tahu, tak akan dapat ku hilangkan bekas sayat sembilu itu di sekujur indah tubuhmu
Membekas,
Begitu dalam hingga melekat padu jadi satu dalam aliran nadimu
Sembilu itu makin dalam menyayat nadi
Perihmu kurasa

Selepas senja
Mulai senja menyingsing
Kau tetap diam
Merenungi apakah kau disampingku?
Terasa air mata hangat meleleh dipipiku
Kau diam
tapi tatap nanar matamu menyiratkan duka mendalam, kau mematung
Kau masih diam hingga malam bergelayut
Malam ini tidak cerah
Petak-petak awan seakan bersekongkol menghalangi bias rembulan itu
Wajahmu pucat
Menatap senyapan di kejauhan ujung paling barat langit gelap ini
Kau mengenang
Menalar jauh seakan sukmamu telah berpisah dari ragamu

Malam
Malam itu ku berniat memetikkanmu sepotong mawar
Kau tahu
Mawar hijau
Kesukaanmu
Tapi kau setia dengan renunganmu hingga kuurungkan niatku
Kujaga kau, disampingmu hingga malam sedia meninggalkan kita berdua
Tanpa sepatah kata membuyarkan keheningan yang kita pelihara selama ini
Dalam diam ku menyadari jika kau tak sepenuhnya ada.

Senja adalah awal
Dan malam adalah akhir
Kau, dan aku
Bersama itu hanyalah angan dari kenangan yang gagal terealisasikan
Tapi setidaknya bahkan didalam anganku kenangan tentang kita yang tersimpang dalam selubung kabut gelap nan basah dalam hatimu itu
Kau boleh saja menolak semua kenyataan itu
Seperti apel merah yang menolak disalahkan karena turunnya Adam dan Hawa ke dunia
Sehebat apa kau menolak semakin kuat hasratku untuk selalu memeliharakan kenanganmu dalamku

Ingin aku mendekap tubuhmu yang mebiru
Dalam anganku berlatar senja dan malam
Namun kebas tubuhmu oleh kabut yang seakan mengkafani jasasmu dari sentuhan nistaku
Kau masih diam
Entah apa yang harus aku lakukan untuk sekedar membuat kau hidup di kesendirian anganku
Ingin kusaksikan busur hujan di cakrawala itu melengkung anggun
Menggores kan segaris indah pada bibirmu
Tapi seakan alam sraya menolak keinginanku
Mendung yang bergelayut tak jadi semburatkan rintik hujan padaku
Urung sudah niatku menatap bibirnitu melengkungkan senyum magisnya

Ingin ku memelukmu
Bak kelekap pada batu, demi mengusir hawa dingin malam
Yang bahkan terasa lebih hangat daripada dinginnya sikapku
Walau ini ada dalam anganku
Lalu dengan apa aku hidupkan kenangan bersamamu ini?
ku coba meresapi setiap bagian tubuhmu, dingin
Kucoba telusupi bagian demi bagian hatimu
sepi juga yang akhirnya ku temu

Kenangan
Sebelum dan sesudah perpisahan
Aku tak ingat pernah berpisah denganmu,
tapi kenapa kau begitu enggan
meski hanya dalam kenanganku, dan hanya sekelumit ceceran kenangan ini yang berusaha kurangkai
Ku hidupkan berkanvaskan angan
Dan berbingkai rindu
maka menarilah, di dalam sini
Di dalam kenanganku kau hidup sebagai seseorang yang bebas
maka entaslah dirimu dari duka
maka usaplah, usaplah bagian lukamu dengan aliran sungai yang telah kusiapkan hanya untukmu, hanya untukmu membasuh luka

Ceceran itu
Goretan visual dari luapan emosiku yang tertahan ini terlihat abstrak
Kau tak nampak hidup
Bahkan dalam kenanganku
Tapi setiadaknya kau telah menemaniku dalam setia pejam mataku
Dalam setiap alunan doaku
Dalam setiap satu langkahku diawal hari masih pagi
Mengisi secangkir kopi yang kuseruput setiap malam
Mengais dalam, memetik alunan harpa bait keindahan kenanganku
dalam
dalam dan semakin dalam alunan itu mengiang, mengalun sepi
mengalir senyap dalam sukmaku
merinding, seperti ku dengar telah firman Ilahi merebak memenuhi taman kenanganku denganmu
Kau ada
Kau dimana mana
Seperti udara yang tanpanya aku tiada
Kau ada
Setidaknya kau ada
Dan pernah ada dalam anganku berlatar senja yang berhias malam
Berkanvaskan kenangan
Berbingkai rindu
Akhirnya lukisan hidup itu kuberi nama; kenangan.

21:10, 18 November '15
A. T. H. Pamuji

ObscuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang