Pada akhirnya
Kini semua akan tiba pada waktunya
Sebuah tanya
Tentang suatu ketika
Waktu, yang mungkin telah kita ketahui
bersama
Apa kini kau masih akan mengingatku sebagai pencopet?
Yang pada kerumunan pawai itu
Menggunakan kesempatan yang ada hany 'tuk sekedar meremas genggam simpul tanganmu.
Mungkinkah kau masih mengenalku,
sebagai seorang yang terlalu tak peduli pada diri, pada sekitar,
terhadapmu?
Maka ketika ku pelukmu, peluklah lebih dalam,
lebih mesra
Menyoal kata mesra
Apakah masih kau semesra dahulu?
Mencubit pipiku, lalu merayu memintaku mencukur rambut?
Dan kini, bicarakan kembali tentang mimpi-mimpimu,
Manisku
Bicarakan lagi tentang kita yang semakin menua
Terhanyut oleh gravitasi dalam rotasi waktu yang semakin mempercepat langkah lajunya.
Mengenang kembali masa yang telah kita lalui bersama
saat itu, berteman sepi, berkalang senja
Apa kau masih akan seramah dahulu?
Memintaku minum susu
dan mencium aroma tubuhku, seakan kuingat baru pagi itu kau memilihkan kemeja ini bagiku
dan baru kemarin
kau mencucikannya untukku
Aku teringat kembali, sayangku
mata sayumu yang lelah
Lewat pukul 3 dini hari, dan masih bicara
Setiap kali kita seperti itu, setiap kali aku terlalu sibuk mengecap pahitnya duniaku
Kau dengan lembut mengingatkan waktuku tidur telah tiba
Dan kau membimbingku
Kasihku,
Ada yang tak mampu kujawab atas semua ini terjadi
dan yang belum usai terlewati
Tentu saja, aku yakin aku mencinta padamu
Dan kepada riak gelombang rambutmu yang tak pernah lelah
dan jemunya kupandangi;
Kini tak lagi pernah sempat ku saksikan dalam kenikmatan sesaat kedip mata barang sekali
Hanyalah omelan hati ini
Menggebu
Menggetarkan selaksa jiwa, menuntut agar rasa rindu yang merontanya untuk segera terobati
telaga kasih
Hari lewat kemalaman
Kini, masihkah kau ingat dimana saat kita berdua masih sama-sama bermuram
setia dalam diam?
Berdua bersingkuran dalam sebuah bilik kamar tanpa jendela
Hanya berpegang tangan saling menggenggam
Lampu temaram
Menjadi teman ketika kita bersama saksika
sekelebat wajah orang-orang yang tak pernah kita kenal; mulai berbicara
Kedalam bahasa yang tak satu malaikat Tuhanpun mengerti
Seperti kabut pagi kota kita ini
Alunan suara mereka begitu membuat kita bergidik, begitu dingin
menusuk
Dan kini bagai kelekap pada batu
Kita berpelukan
Entah siapa yang memulai
Entah mengapa
Tiba-tiba aku merasa rindu ketika tak sengaja-atau kau sengaja-
Kau rebahkan kepalamu di dadaku
Tepat diata, dimana langkah detak jantungku berderap
Ya,
Lalu mulai kau berhitung derap jantungku itu
Langkah sepasukan Argonauts dalam dadaku
Satu...
Dua...
Tiga...
Dan hingga sampai berapa kau berhitung,
Hingga kau terlelap pada selimut pelukku yang kau rasa sehangat pasir laut di iklim tropis
Sempat aku berfikir kala itu,
dapatkah pula kau mendengar rintihan sepi yang telah lama melingkarkan belenggunya pada hatiku?
Tapi ternyata tak berteriak
Mungkin mereka menyadari
kehadiranmu
Maka pada akhirnya
Kemarilah sayangku
Hinggaplah kembali kedalamnku dan dengar kembali derap langkah
sepasukan Argon dalam dadaku
Derap jantungku
Hitung hingga derap langkah prajurit terakhir
hitung hingga detak terakhir...
Karena aku
Ingin mati disisimu, manisku
Tapi tidak seperti mereka para Argonauts yang mati memang
demi negara mereka di negara lain tapi
Aku ingin mati di pelukmu
Saat kita mulai begitu tua dan membosan
Saat kisah sapa yang kini kita pun telah melupa
Tentang mimpi
Tentang angan kita bersama
Dengan apa yang tak kita selesaikan, dan yang seharusnya telah kita lunaskan
Dulu...
23:20, 19 November '15
Untuk Nengkuh, Popy P. Z
A. T. H. Pamuji
KAMU SEDANG MEMBACA
Obscura
Poetry"Dan biarlah nanti, dengan bait-bait suciku, Aku mengenang-Mu Sebagai salah satu cara pengkudusanku akan dosa-Mu"