Epilog Pagi Hari Pada Sebuah Sudut Sepi Gedung Keadilan

10 0 0
                                    

Epilog Pagi Hari di Sebuah Sudut Sepi Gedung Keadilan

Lihatlah pagiku kali ini
Termenung disini sediri
Semenjak elegi itu mengalun pada langit negeri
Aku tak lagi bernafsu bicarakan fakta dan keadailan
Apalagi menatap mentari
Berbinar kini dan nanti

Orang-orang sepertinya rasa sama
Sedulu kufikir ini hanyalah fantasi imajiku belaka
Namu rupanya
Ini realita

Berjuntai panji-panji keagungan
Atas nama jelata, negara, ideologi dewa sampai agama
Melambai mesra pada sepoi angin tropis senja
Tumpang-tindih dengan tudung kepentingan pribadi

Lalu seorang menemu muasal alunan elegi kesedihan ini
Ia kemudian menunjuk satu gedung
Sekilas aku mengira itu kura-kura raksasa
Gedung rakyat, katanya

Sebelum usai heranku tatap seluk beluk gedunya
Satu orang lalu menghampiriku
Dia berkepala sapi merah
Menjelaskan ini itu
Bicara menyoal pembangunan berapi-api
Tapi hanya menyisakan rasa ambigu pada diri

Aku berlalu hingga ada seorang lagi menyapa
Mengenakan peci dan sorban putih
Lalu berbicara tentang agama dan toleransi
Aku tetap tak tau

Senja menggantung terlambat tidur
Kemudian seorang meneriakkan kuning
Bicara soal keadilan sepanjang jalan
Dari kelurahan hingga senayan
Aku bergeleng dan semakin pusing

Dari sudut kejenuhan aku menatap gedung itu
Terlalu banyak warna
Terlalu banyak jiwa kelaparan terbelenggu pada pondasinya
Lalu kemana perginya
Lelaki yang tunjukkan ini semua?
Ternyata dia hanya antek si Biru yang pintar menyelubungkan maksud lewat kepolosan anak negeri

Tapi beginilah kiranya ilusi pagi hari
Hidup di negeri ini
Setiap rumah gadai ramai oleh orang lalu lalang
Menggadai nilai moral yang semakin rendah
Hingga seakan takut sewaktu-waktu akan anjlog
Moral kini tak ubahnya investasi yang menukik

Penghuni gedung itu pahlawan
Hanya saja lupa pada kewajiban
Terbutakan kekayaan rakyat yang ditumbalkan
Pada pondasi kaki gedung keadilan
Kepentingan lagi dan kepentingan

Ini hanyalah sebagian dari keadaan kami
Kedepannya terserah seluruh kami

Menerima terinjak dan diinjak begini
Atau bergerak dan berdiri menantang pada penguasa yang tak tahu diri

Jangan selamanya anggap rakyat kita ini bodoh
Jika saja mampu bersatu
Maka tirani pasti akan roboh

Yah hanya delusi saja
Jika tanpa keberanian mengubah tatanan raja
Ataukah kita hanya mengorek kuping seperti kerbau
Dicucuk hidungnya
Terima begitu saja dicekoki oleh citraan semu

Ataukah...
Hanya menikmati kisah apa yang selanjutnya terbentang
Pada deskripsi pagi hariku di sudut sepi yang lain

18:17, 26 Desember '15
A. T. H. Pamuji

ObscuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang