Chapter 4

17.5K 1K 55
                                    

Aku tetap diam saat dia membantuku minum. Setelah aku bisa membuka mata dengan sempurna, satu hal yang kuinginkan adalah air. Aku haus sekali. Pria yang ada dihadapanku saat ini adalah orang yang lumayan sering aku temui saat sholat jum'at di Masjid. Pria yang sampai sekarang aku tak tau namanya, tapi lumanyan sering kami duduk bersebelahan. Bahkan saat puasa, kami sering berdampingan dalam menjalankan sholat taraweh.

Sudah hampir 5 tahun kami selalu bertatap muka, tapi aku tak pernah berani menyapanya. Bagaimana aku mampu menyapanya, keadaan kami bagaikan langit dan bumi. Handsome and the beast atau juragan dan jongosnya.

Dia adalah sosok pria yang tinggi gagah, kulit putih bersih dan bercahaya. Wajah jangan ditanya, naudzubilah tampan tanpa noda sedikitpun disana. Jangankan bekas jerawat, bintik hitam saja tak ada. Hidung mancung dengan bibir seksi dan merah muda yang membuat kita menelan ludah saat menatapnya itu semakin menambah nilai plus-plus pada dirinya. Rambut lurus dipotong pendek tersisir rapi.

Dan tumpangannya. Aku selalu merasa dibuat tenggelam setiap kali dia membawa mobil yang berganti hampir setiap kali sholat jum'at. BMW, Fortuner, Jazz, Innova, Civic, Alphard, CRV, dan entah mobil apalagi yang dia punya. Kadang kalo lagi jengkel, aku suka berpikir yang jelek-jelek tentangnya. Mungkin dia cuma supir tampan yang punya juragan pemilik show room atau dia memiliki usaha rental mobil, makanya dia selalu berganti-berganti kendaraan. Tapi saat melihat para Ta'mir masjid memperlakukannya dengan sangat sopan. I'm speechless. Itu artinya dia bukan orang main-main.

Dan harum tubuhnya. Walaupun tak menyengat hidung, bau parfum yang samar-samar itu begitu cocok untuknya. Harum parfum segar yang dia pakai semakin mempertegas penampilan dan cara berpakaiannya yang walaupun tak terlihat sangat rapi, tapi toh tampak pas dan sedap dipandang mata. Hanya satu kekurangannya. Tubuhnya tidak bisa dikatakan seksi. Perutnya agak melebar--walaupun tak bisa dikatakan buncit. Karena dia tinggi jadi tak terlihat gemuk banget--namun anehnya membuat postur tubuhnya terlihat menarik bagiku. Mungkin dia kurang suka olahraga atau fitness diwaktu senggangnya.

Yang jelas, semua hal tentangnya 180 derajat berbanding terbalik denganku yang notabene jelek tingkat parah, udik, cara berpakaian yang gak banget, kere, gak menarik dan gak-gak yang lainnya. Pokoknya, aku gak banget deh kalo disandingin sama dia. Dulu, setiap kali tau dia berada disampingku, aku pasti langsung berkeringat dingin saking nervousnya. Aku langsung krisis PeDe dan ingin tenggelam rasanya.

Tapi itu dulu.

Sekarang, aku bisa menatapnya dengan biasa. Setelah mengenal Adit, hati dan pikiranku hanya untuknya. Aku masih suka dengan pria tampan, tapi tak lebih dari sebatas suka melihat saja karena yang ada dimataku hanya Adit seorang. Aneh memang. Entah kenapa setiap kali melihat pria tampan, wajah Adit langsung terbayang dimataku sehingga aku langsung berhenti menatap mereka. Sepertinya aku terkena sindrom lebay yang tengah marak saat ini.

"Mau makan sesuatu?" tawarnya ramah.

Aku hanya mampu menggeleng. Otakku sibuk mencari obrolan apa yang bisa ku utarakan padanya.

"Kalau masih lelah, kamu istirahat saja. Aku akan kembali lagi nanti." tuturnya lembut dan tersenyum manis.

"Itu..." ucapku pelan saat dia beranjak dari duduknya, membuatnya urung melangkah.

"Ya...?"

Aku diam sejenak sambil menatapnya yang tengah tersenyum padaku. Tampak guratan lelah diwajahnya. Matanya terlihat sayu seperti orang yang lama terjaga. Apakah dia menungguiku sendirian disini?

"Terima kasih."

"Untuk apa?" tanyanya dan kembali duduk diranjangku sehingga menimbulkan suara berderit karena menahan berat tubuhnya.

Because of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang