Chapter 28

8.7K 651 9
                                    

"Ga....." panggil Reffan lirih seraya merengkuh jemariku.

Jantungku masih berdegup keras. Aku takut, Tuhan... Semoga yang lain tak menangkap hal yang sama seperti Reffan juga. Bagaimana kalau mereka tau? Bagaimana kalau mereka mendesaknya?

"Aku yang membawamu kerumah, Ga. Jadi aku yang bertanggung jawab atas apapun yang ku lakukan." Aku teringat ucapan Mas Candra waktu itu.

Apakah keluarganya benar-benar menuntutnya? Apa yang harus ku lakukan?

'Pergi dari sana Ga! Kamu masih ingat ucapan Bu khatijah dan Mbak Asty kan? Kamu hanya membebani Mas Candra. Kamu adalah aib buat mereka.'

"Ga...." panggil Reffan lagi menyadarkanku. "Ada apa?"

"Huh???" sahutku seperti orang linglung.

"Lo... nangis." seru Reffan khawatir.

"Huh?" reaksiku masih sama.

Aku baru sadar kalau aku menangis di depannya. Ku palingkan wajahku dan ku seka rembesan air mata di pipiku.

"Ada apa?" tanya Reffan sedikit panik. "Apa.... ucapan gue ganggu lo?"

"Eh... Enggak Fan. Enggak kok." elakku serak. Kerongkongankupun serasa tercekat dan kering.

"Ga...." Reffan menggenggam erat jemariku. "Lo suka sama dia?" tanyanya pelan, sungkan.

"Huh?" lagi-lagi aku linglung. "Dia?"

"Lo... suka sama Mas Candra?" ulang Reffan pelan.

Rasanya ada yang mencengkeram hatiku. Kembali aku menatap Reffan kosong. Aku bukan hanya sekedar suka padanya. Aku mencintainya. Mencintai dengan sepenuh jiwaku. Mungkin benar yang kamu bilang. Aku hilang rasa pada Adit karena hatiku sudah terperangkap dan dipenuhi dengan semua hal yang berbau Mas Candra.

"Ga.. Jangan gini dong..." tegur Reffan khawatir. "Lo bikin gue takut." kembali di remasnya jemariku lembut.

"Gue gak akan ngelarang kalo lo suka sama dia. Lo boleh menyukainya. Cuma..... Lo mesti jaga perasaan keluarganya dan keluarga kami juga. Gue akan terima lo apa adanya, tapi yang lain mungkin akan berpikir lain tentang keadaan lo Ga. Gue gak mau lo disalahin hanya karena hal yang gak bisa lo kendaliin."

"Apa yang lain juga tau?" tanyaku langsung, pelan.

"Huh?" respon Reffan bego. Detik berikutnya dia baru ngeh dengan pertanyaanku. "Oh.... itu.... mungkin.." jawabnya agak terbata.

"Apa yang mesti gue lakuin Fan?" keluhku terlalu lirih.

"Lo ngomong apa barusan?" tanya Reffan tak mendengarnya.

"Gue bingung Fan.." keluhku pilu. "Mas Candra.... Dia orang paling baik yang pernah ada buat gue. Ichal.... Gue sayang banget sama dia seperti sayang gue sama adek kandung gue sendiri. Mereka berdua, orang yang paling berarti dalam hidup gue saat ini." aku ingin mencurahkan semua beban di hatiku pada Reffan.

Aku tak bisa berpikir lagi apakah yang kulakukan ini benar atau tidak? Yang kuinginkan hanya supaya beban ini sedikit berkurang.

"Awalnya... gue terima tawaran Mas Candra untuk tinggal di rumahnya karena gue berhutang biaya rumah sakit yang gak sedikit jumlahnya ke dia. Gue terima dengan syarat, suatu saat nanti dia mesti nerima uang yang dia pinjemin ke gue kalo gue udah kerja lagi. Ichal... dia seneng banget pas tau gue tinggal di sana. Itu pertama kalinya gue merasa disambut dan diterima, Fan. Keluarga gue aja gak pernah mau nemuin gue kalo gak pas Hari Raya. Bahkan untuk sungkeman pun mereka sedikit berat memberinya." dadaku kian sesak.

Kenapa setiap kali aku bersedih, semua hal-hal menyakitkan selalu mengantri untuk muncul dikepalaku. Reffan hanya bisa diam menjadi pendengar yang baik.

Because of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang