Side Story : Twins (Raffa & Reffan)

11.2K 683 14
                                    

Siapa bilang kerja di SPBU enak? Itu semua cuma isapan jempol belaka. Awalnya memang menyenangkan. Training berkelas, study tour dan janji akan mendapat penghidupan yang layak. Semua seakan jadi sampah yang basi tatkala aku menceburkan diri kedalam dunia kerjanya.

Bayangkan... Berdiri selama delapan jam penuh. Melayani customer yang notabene mempunyai karakter yang Bhineka Tunggal Ika, beragam sikap tapi intinya satu, menyiksa hati.

Seharusnya para trainer mengajarkan hal paling pokok kepada kami saat training dulu, yakni SABAR. Itulah hal yang harus di tekankan dan di pupuk dengan baik dan benar pada setiap peserta trainingnya.

Bulan-bulan pertama kerjaku benar-benar seperti sampah. Teman belum banyak yang kenal, musim kemarau panjang, dicaci pelanggan, langganan tekor, dibodohi dan ditipu pelanggan sampe kerja keras menahan kaki yang senantiasa nyut-nyutan karena dipaksa berdiri terus.

Entah peraturan mana yang membuat karyawan tak di ijinkan duduk atau bahkan kita harus selalu tersenyum dan minta maaf atas setiap keluhan dan teguran yang di muntahkan mulut para pelanggan jahanam dan tak tau belas kasihan itu. Peraturan itu sangat sepihak buat kami. Tidak adil. Tapi aku harus kuat. Penderitaan takkan kekal menempel pada kita bukan?

Setelah SPBU kami mendapatkan sertifikasi Pasti Pas, kami pun mulai terbiasa dengan yang namanya berdiri berjam-jam. Sudah kebal dengan yang namanya cacian dan makian. Dan kami sudah mulai tau bagaimana cara menangani pelanggan yang tak tau diri dan suka menipu kami.

Dan satu hal yang paling berkesan setelah aku lama bekerja di sini. Aku mempunyai seorang pelanggan remaja SMA yang bener-bener menawan dan membuat hati deg-degan setiap kali melihatnya.

Oh ya. Namaku Yoga Dwi Purnama. Umur 18 tahun, yang artinya begitu lulus SMA aku langsung mencari pekerjaan. Hidup menuntutku untuk merantau jauh ke kota Surabaya ini, padahal aku bukan orang asli sini. Rumahku jauh di sebelah timur propinsi ini, yakni kota Jember.

Kalau boleh memilih, aku ingin tinggal di sana saja. Desa tempat tinggalku masih lumayan asri dan banyak pepohonan, jadi bebas polusi tak seperti kota Surabaya ini yang pencemaran udaranya sudah membuat wajahku berbintang di sana-sini.

Lalu, kenapa aku bisa terlempar kesini?

Aku tak di inginkan keluargaku. Itu semua karena ulah tetanggaku yang dengan kejamnya menuduhku membuat anak lelakinya tertular sifatku yang suka dengan sesama lelaki. Walaupun aku kecewekan, bukan berarti sifatku bisa menular kan? Kenapa mereka menganggapku seperti penyakit saja bagi mereka? Keluargaku yang pada dasarnya sudah kecewa dengan garis hidupku jadi bertambah jijik dan seolah najis memiliki anak sepertiku. Akhirnya, begitu lulus SMA-yang biaya sekolah itupun aku yang harus kerja keras mencari uang untuk membayar semua administrasinya-aku langsung pergi ke Surabaya untuk mengadu nasib.

Lantas, bagaimana aku bisa kerja disini?

Kalian mungkin takkan percaya. Aku ikut jadi kuli dalam proses pembangunan SPBU ini. Imposible banget bukan? Tapi kenyataannya memang begitu. Aku ikut membangun SPBU ini dan begitu tau di sini membuka lowongan kerja dan semua melalui jalur seleksi dan test, aku tekadkan diri untuk ikut mengadu nasib melamar kerja di sini. Alhamdulillah, dari sekitar 700 peserta test, aku masuk kandidat sepuluh besar dengan perolehan hasil test terbaik.

Oke, sekian dulu perkenalanku.

Cowok yang kuceritakan tadi. Dia anak kelas tiga sebuah sekolah negeri terkenal di sini. Masih SMA saja sudah membawa sepeda motor Tiger-padahal jangankan sepeda motor? Aku bahkan harus merelakan kakiku bekerja keras untuk menuju ke sekolahku dulu. Beruntungnya anak-anak sekarang, masih sekolah sudah di pegangi motor sendiri- apalagi nanti kalau sudah kuliah? Bisa bawa mobil sendiri dia.

Because of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang