Chapter 25

8.9K 699 58
                                    

Candra Pov.

Ini sudah hari ke-2, tapi Yoga tak kunjung menunjukkan tanda siuman. Perasaanku jadi tak menentu. Aku tak bisa kehilangan orang yang kusayangi untuk yang kedua kali.

Apa yang menahanmu?

Cepat sadar Ga...

Karena luka yang ada di punggungnya, Yoga terpaksa tidur dengan posisi miring. Disisi kanan wajahnya terdapat goresan-goresan luka. Kulit di sepanjang lengan, pinggul dan kakinya juga mengelupas. Aku tak sanggup menyaksikannya dalam keadaan seperti ini terlalu lama. Tapi aku juga tak bisa meninggalkannya.

Aku merasa berdosa. Aku bersalah padanya, Tuhan...

Kalau saja aku menyusul mereka berdua, mungkin kejadiannya takkan seperti ini.

"Kakak belum sadar, Yah?" tanya Ichal lirih.

Aku hanya menggeleng sambil tersenyum menenangkannya. Ku rangkul dan ku pangku dia penuh sayang. Demi menyelamatkan anakku, dia rela menerima luka ini. Aku malu sekali padanya. Bahkan aku yang ayah kandungnya sendiri tak bisa melindungi anakku dengan baik. Ichal baik-baik saja. Hanya sedikit memar di keningnya karena benturan. Lagi-lagi itu karena Yoga yang melindunginya.

"Bagaimana?" tanya Ayah sambil merengkuh bahuku. Kakak dan ibu juga ikut menjenguk.

"Belum sadar. Dokter bilang dia sudah melewati masa kritis. Tapi...." aku menarik nafas berat. "Kuharap dia baik-baik saja."

Ayah tak mengatakan apa-apa lagi. Beliau hanya meremas bahuku dan menepuknya pelan. Kak Asty juga tak banyak bicara. Aku sedikit tertolong dengan dia menjaga sikapnya di sini. Aku sedang tak ingin bertengkar dengan siapapun saat ini.

"Kamu jangan lupa istirahat Nak.." pesan ibu lembut. "Semoga dia cepat sadar."

"Kami pulang dulu Ndra." ucap Kak Asty berpamitan. "Jangan lupa istirahat.."

Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan.

Setelah keluargaku pulang, kembali hanya tinggal kami bertiga yang ada di ruangan ini. Ichal tak mau pulang ke rumah. Dia juga tak mau sekolah kalau Yoga belum siuman. Dia masih merasa bersalah, karena dialah Yoga terbaring tak sadarkan diri di sini. Ku genggam jemari tangan kirinya yang tak luka. Kuremas lembut, berharap dia dapat merasakannya.

"Cepet sadar Ga... Kami berdua akan selalu menjagamu disini.." bisikku lirih di telinganya.

Hatiku sakit melihatnya tak merespon ucapanku.

"Aku minta maaf Ga... Gak seharusnya kamu mengalami kejadian ini."

"Ayah....." panggil Ichal lirih. "Ayah jangan nangis.." serunya perih.

Aku bahkan tidak menyadari ada air yang keluar di mataku.

"Ichal yang salah.. Kalau saja Ichal gak lari, kakak pasti gak bakalan tidur selama ini di sini.." Ichal terisak dan merangkulku erat.

"Sssshhhh....." ku dekap dan ku usap lembut rambutnya.

"Ayah gak papa. Ichal gak salah kok. Ini semua sudah kehendak Allah Chal. Jadi... Ichal jangan merasa bersalah seperti itu. Nanti kak Yoga semakin sedih kalau denger Ichal nangis." tuturku lirih.

"Kita berdoa saja, semoga kak Yoga bisa cepat siuman, ya.."

Ichal menghapus air matanya dan berusaha menghentikan tangisnya.

Seandainya aku bisa seperti anakku yang bisa dengan mudahnya di nasehati dan disuruh berhenti menangis. Aku bahkan masih menyalahkan diriku atas kejadian yang menimpanya.

Because of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang