Apakah cinta itu sebuah beban?
Terkadang aku berpikir demikian. Tapi beban itu takkan berarti apa-apa manakala orang-orang yang kita sayang ada di sekitar kita.
Mas Candra dan Ichal, kehidupanku saat ini hanya dipenuhi oleh kedua orang itu. Orang-orang yang selama hidupku tak pernah terpikir akan menguasai semua ruang dihatiku.
Kalau ditanya apakah aku bahagia? Dengan tegas kukatakan, Ya! Aku bahagia.
Lalu muncul pertanyaan lain.
'Kebahagiaan macam apa yang kamu dapatkan? Bukankah kamu tak bisa memiliki mereka seutuhnya?'
Jawabannya.
'Kebahagiaan yang ku dapat sudah sempurna. Apalagi yang harus kuminta? Mereka ada bukan cuma raga, tapi juga cinta. Ya, aku tahu, aku tak memiliki mereka seutuhnya, tapi untuk apa? Dengan cinta yang mereka berikan saja aku sudah menjadi manusia paling beruntung di dunia. Aku tak ingin jadi orang yang tamak untuk bisa mendapatkan semua. Aku sudah cukup penuh dengan semua yang ada.'
Aku meminta Mas Candra dan Ichal untuk tak terlalu sering datang kemari. Aku tak ingin mereka lupa akan siapa yang tengah berada di rumah mereka. Terkadang aku merasa seperti orang yang bawel saja karena selalu mengingatkan mereka akan Reny dan anaknya. Aku sadar kalau aku tak punya kuasa mengatur hidup mereka, apalagi aku tinggal di rumah yang notabene masih milik Mas Candra. Ichal juga sering muram setiap kali aku melarangnya menginap terlalu sering di sini. Aku juga kangen dan ingin selalu bersama mereka berdua, tapi aku harus memikirkan perasaan ibunya.
"Kakak kenapa? Apa kakak bosan sama Ichal?" tanya Ichal tak tahan.
"Sini!" kuraih lengannya dan kudekap tubuh jenjangnya.
Tinggi anak itu sudah melebihi tinggi badanku sekarang. Aneh rasanya kalau mengingat dulu aku masih sering menggendongnya. Ichal merebahkan kepalanya kepundakku, dibalasnya dekapanku dengan erat sambil mendesah kecil.
"Kakak enggak dan gak akan pernah bisa bosan padamu. Kakak cuma pengen kamu lebih memperhatikan mama dan adikmu. Jangan terlalu sering meninggalkan mereka!"
"Tapi Ichal pengennya sama kakak."
Ku usap punggung anak lelaki yang sudah kuanggap anakku sendiri itu dengan lembut.
"Kakak tahu, Chal. Kamu boleh menginap dan tinggal disini kapanpun kamu mau, tapi jangan lupain mama kamu."
"Jadi Ichal gak boleh menginap disini malam ini?" dilepasnya dekapanku dan Ichal menatapku dengan mata sendu.
Aku tersenyum kecil melihatnya. Kuraih kedua pipinya dan kuusap kecil dengan ibu jariku.
"Gak malam ini, Chal. Bagaimana kalau sabtu nanti? Minggu paginya kita bisa jogging bareng ke alun-alun kota."
"Janji?"
"Janji!" ku anggukkan kepalaku pelan dan mantap.
"Kamu tinggi banget, Chal. Kenapa kakak jadi kerdil begini ya?" candaku sambil mencubit hidungnya.
Wajah Ichal yang semula kelam perlahan menghangat dan bersemu merah.
"Iya kak. Kenapa kakak jadi pendek gini ya?"
"Terima kasih atas ledekannya." ganti aku yang memasang wajah cemberut.
Bukan hanya semakin tinggi, di beberapa sisi wajahnya juga sudah ditumbuhi bulu-bulu halus penanda akhil balighnya. Anakku sudah tumbuh jadi lelaki dewasa, tapi aku tetap merasa dia anak kecilku yang dulu. Ichal kembali memelukku.
"Ichal gak mau pulang kak." lagi-lagi dia mengeluh.
"Hey, bukankah tadi kita sudah sepakat?" kejarku dengan tangan yang masih mengambang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because of You
Romance⚫Another Repost Gay Story ⚫Original Writer : @chi_lung ⚫Don't like don't read ⚫LGBT HATERS GO AWAY!