"Weii, menggalau aja lo semua para jomblo. Nih makanan udah siap," Vale berjalan sambil membawa nampan berisi penuh makanan yang ia buat bersama Diasley."Bikin apa lo?" Tanya Leo sambil mengerutkan kedua alisnya.
"Gak beracun kan?halalkan?gak bikin mati?" Tutur Leo panjang lebar.
Vale meletakan nampan makanan itu ditengah tengah mereka yang kini membentuk sebuah lingkaran kecil sambil melot.
"Nih ya," Vale mengambil sendok dan segera mengambil spageti yang ia buat tadi lalu memakannya dengan ganas sambil melotot tajam kearah Leo.
"Gak mati kan gue, idup kan gue. Sembarangan banget lo ngomong," Vale menjitak kepala Leo geram.
"Sakit mami," Leo memasang tampang sok kesakitannya.
"Meremehkan ya lo, Yo!" Diasley angkat bicara karna tuduhan Leo.
"Ntar kalo gue sama Vale udah kawin, mau dikasi makan apa anak sama laki gue kalo gue gabisa masak." Diasley mencibir kearah Leo yang kini sedang dipojokin.
"Bisa juga lo punya laki?" Leo tersenyum miring.
"Alah, se engga-engganya ntar kalo gue gak laku masi ada lo berdua yang tinggal gue pilih," tawa pun meledak.
"Sory, gue bukan pilihan sob," Leo mengangkat tangannya keudara tak terima.
Mereka bercanda dan tertawa bersama. Melepaskan semua beban hidup mereka masing-masing untuk sementara waktu. Dengan latar belakang kehidupan yang berebeda beda serta masalah demi masalah yang berbeda pula.
------
Sudah dua hari Diasley memutuskan untuk segera pulang kerumahnya. Setelah beberapa hari menginap dirumah Vale sepulangnya dari London. Dia tak mau terlalu lama merepotkan Vale walaupun gadis itu tak merasa begitu.
Plak
Lagi, itu terjadi lagi setelah beberapa lama. Ia baru saja pulang dari dinasnya keluar kota.
"Kemana kamu? Mau jadi apa kamu hah? Pergi seenaknya? Mau mempermalukan saya lagi?" Bentak Gunawan dengan segala kekesalannya. Walaupun ia sangat membenci Diasley, ada secuil rasa khawatir yang ia rasakan pada anak yang dulu selalu membanggakannya.
"Sejak kapan papa peduli?"
Plak
Satu lagi.
"Tolong jaga mulut kamu ya, kamu itu memang kurang ajar! Selalu menyusahkan! Selalu membuat malu!" Dia membentak lagi. Dia sangat kesal.
Diasley memegang pipinya yang terasa nyeri sekali. "Kalo gitu kenapa gak papa bunuh aja aku pa? Bukannya aku selalu nyusahin papa?selalu buat malu dan an—"
Plak
"Stttt," Diasley mengeryit atas jambakan yang ia rasakan dan juga tamparan. Lagi.
"Kurang ajar kamu! Mau kamu apa? Selalu memancing amarah saya? Melawan apapun yang saya katakan."
Plak
Dan lagi.
Diasley terjatuh kelantai seiring tamparan dipipi kanannya dan lepasnya jambakan Gunawan. Gunawan berlalu pergi menuju pintu dan memacu mobilnya hingga hilang ditelan jalanan. Diasley masih tetap pada posisinya memegangi pipinya yang ditampar gunawan dan menghilangkan rasa nyeri pada kepalanya akibat jambakan tadi. Ia segera berlari kekamarnya dan menutupnya rapat-rapat beserta rasa pahitnya hidup yang ia rasakan kini. Terduduk disamping kasur beralaskan warna abu-abu itu sambil memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya disana. Tangisan itu belum pecah. Tembok itu belum sepenuhnya hancur. Ia mengambil sebuah benda persegi dari dalam saku dan menempelkannya ketelinganya.

KAMU SEDANG MEMBACA
DARK
Ficção Adolescente[Complete] Laki-laki itu menatapnya dari bawah sambil berbaring dipaha gadis itu. "Jangan bicara seakan-akan lo bakal pergi." "It's real life, i told you for many times, Andrew." Dan kini gadis itu berada dipelukan sahabatnya setelah beberapa bulan...