Diasley menaiki lift dan menekan tombol 8 tempat dimana Ibu Briliana dirawat. Sudah hampir sebulan semenjak kecelakaan maut itu Briliana belum juga sadar. Ibunda Andrew itu masih tetap menutup matanya dan tertidur pulas. Belum ingin untuk terjaga dan masih ingin terlelap. Indra menatap istrinya itu sambil tersenyum paksa.
"Sudah hampir satu bulan, dan kamu masih membuatku merindukanmu," Indra mengelus punggung tangan istrinya yang tertusuk jarum infus itu. Ia selalu merindukan istri keduanya itu.
"Tidurku bersama anak-anak tidak pernah senyenyak ketika bersama denganmu," Indra memejamkan matanya. Ia menangis dalam diam.
"Selamat siang," suara ceria itu membuat Indra yang sedang mengingat kembali masa-masa indahnya bersama sang istri menjadi menoleh. Indra tersenyum melihat sosok perempuan yang dapat membuat hati anaknya bahagia itu. Sesosok perempuan penting bagi anak tirinya. Seperti yang ia rasakan pada Briliana.
"Eh, Om, sorry ya nganggu quality time nya beleng tante Lia," Diasley tampak menyesal, ia datang disaat yang tidak tepat. Dan segarusnya dia mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Siang, Om," Leo tersenyum manis pada Indra yang kini berdiri di samping ranjang istrinya.
"Eh, Leo, Diasley. Masuk-masuk," Indra mempersilahkan Leo dan Diasley untuk duduk. Diasley dan Leo duduk di sofa yang ada di kamar ini. Ibu Andrew sudah dipindahkan ke ruang rawat inap dan tidak berada di ICU lagi.
"Gimana keadaan tante, Om?" Dialsey bertanya setelah mendaratkan pantatnya di sofa empuk.
"Belum ada kemajuan, masi sama kaya tiga hari yang lalu waktu kamu ke sini," wajah Indra tampak sedikit berubah menjadi sedih. Indra kembali mengingat kondisi istrinya. Wajah Diasley tampah menyesal.
"Yah," Diasley meletakan seikat bunga Lili yang ia beli tadi di toko bunga. Leo tadi memberi tahunya bahwa Andrew pernah memberitahunya tentang bunga kesukaan Mamanya. Bunga itu diletakannya di nakas yang ada disamping ranjang Briliana.
"Cepet sadar ya, Tante," Diasley mencium kening Briliana yang berbalut perban itu, "tante harus cepet sembuh, biar Andrew bisa ceria kaya dulu lagi," Diasley tersenyum hangat kepada lawan bicaranya, meski ia tau itu hanya sia-sia.
"Sendirian aja, Om?" Tanya Leo pada Indra yang terpaku melihat perbuatan Diasley barusan.
"Iya, mumpung kerjaan lagi dikit," Om Indra tersenyum. Memang bukan suatu masalah besar jika jendral manager jarang berada di tempat. Karna tugasnya hanya memantau kinerja anak buahnya saja.
"Oh, iya, katanya tadi andrew mau nganterin Ara. Kemana, Om?" Tanya Diasley baru teringat akan perkataan Andrew barusan. Entah mengapa ia merasa ada kaca transparan yang kini membatasinya dengan Andrew. Andrew tampak berbeda.
"Nggak tau, katanya mau jalan-jalan aja hari ini," Om Indra mengeluarkan ponselnya yang tadi berbunyi.
"Ohh."
"Eh, Dias, udah sore, gue belum ngerjain tugas bahasa inggris," Leo berbicara memecah keheningan.
"Eh, yaudah yuk," Diasley bangkit dari duduknya.
"Eh, kok cepet banget?" Tanya Indra memalingkan wajahnya dari ponsel, "nggak nunggu sampai Andrew pulang aja?" Tanya Indra pada Diasley dan Leo.
"Nggak usah lah, Om," Diasley tersenyum manis, "Leo belum bikin tugas yang segunung," Diasley tertawa.
"Oh, taudah kalo gitu hati-hati ya," Indra bangkit dari duduknya.
"Iya, maksih, Om," mereka berdua mencium tangan Indra.
"Sering-sering main kesini," Indra terkekeh.
"Pasti, Om," kemudian Diasley dan Leo keluar dari ruangan Briliana. Mereka menuju parkiran mobil dan segera menuju rumah.
****
"Haloooo," itu suara Ara yang cukup menggema. Entah mengapa rasa canggung di antara mereka sudah menipis. Es yang biasanya membatu sudah mulai mencair. Ara datang bersama Andrew dan membawa seikat bunga Lili. Andrew hanya mengikuti Ara dari belakang dan terkekeh geli melihat tingkah adiknya itu. Setelah berjalan-jalan tadi siang, mereka langsung pergi ke rumah sakit.
"Ara bawain bunga kesukaan Mama," Ara berjalan menuju tempat tidur ibunya dan meletakan seikat bunga Lili miliknya bersama Andrew di atas nakas samping tempat tidur ibunya. Ara menghentikan pergerakannya yang hendak meletakan bunga miliknya.
"Tadi ada yang datang, Pa?" Tanya Andrew pada Papanya. Mengibtrupsi Ara yang ingin bertanya. Matanya tertuju pada seikat bunga Lili di atas nakas ibunya.
"Hmm," Gunawan mengikuti arah pandang Andrew, "oh, itu, iya ada."
"Siapa?" Tanya Ara penasaran. Ia sudah meletakan seikat bunganya di atas nakas itu.
"Diasley sama Leo," wajah Andrew berubah seketika, detak jantungnya terasa semakin cepat, "mereka baru aja pulang."
"Ohh."
"Gimana sekolahnya?" Tanya Indra pada kedua anaknya. Ara sekarang sudah tamat SMP dan melanjutkan sekolahnya di tempat Andrew bersekolah. Agar Andrew bisa menjaga Ara tentunya. Padahal, tahun ini andrew akan lulus.
"Biasa aja."
"Seru deh."
Mereka mengucapkannya secara berbarengan.
"Dih, kok jawabannya beda gitu?" Tanya Indra heran pada kedua anaknya.
"Ya emang biasa aja," Andrew memutar matanya. Mengingat tentang pelajaran yang semakin bertumpuk dan begitu banyaknya pembekalan untuk UN dan jalur undangan universitas. Terutama, tentang hubungannya dan Diasley yang semakin jauh. Jauh dalam artian... Jauh.
"Tapi seru ah, Bang," Ara menyikut Andrew tidak setuju. Menurutnya teman-teman barunya menyenangkan. Kelas unggul yang di dapatkannya sangat nyaman. Bukan berisi anak-anak nerd yang berambisi tinggi, tapi berisi anak-anak yang cukup populer di sekolah lamanya dan pintar dalam akademik non akademik.
"Ya kalo gue kelas sepuluh mah juga seru," Andrew memutar matanya jengkel. Coba saja Ara merasakan rasanya kelas dua belas ini. Adik kelas memang tidak akan mengerti sampai mereka merasakannya sendiri.
"Hahahah," Ara tertawa terbahak-bahak. Ara yang kalem sudah tinggal kenangan.
Halooo!
Sori sama janji buat next dark tiap hari di libur panjang gua ini. Bahaha, btw gua lagi nyelesain dark biar cepet kelar. Maaf banget kalo alurnya kecepetan karna emg makin lama gua makin bingung. Sering ngestuck juga. Trus, gua kasian sama hurting little stupid yang terbengkalai karna gua fokus ke dark. -ceritanya mau suksesin hurting little stupid- beberapa part lagi bakalan masuk ending. Btw lagi, maaf part yang ini pendek karna emang udah jatahnya segitu.Love ya,
Icin!

KAMU SEDANG MEMBACA
DARK
Teen Fiction[Complete] Laki-laki itu menatapnya dari bawah sambil berbaring dipaha gadis itu. "Jangan bicara seakan-akan lo bakal pergi." "It's real life, i told you for many times, Andrew." Dan kini gadis itu berada dipelukan sahabatnya setelah beberapa bulan...