Diasley tersenyum, menatap jalanan ibukota yang selalu ramai dan padat. Apalagi sabtu pagi. Semua orang berkejaran untuk dapat berlibur bersama keluarga, orang-orang penting, atau bahkan sahabat mereka untuk sekedar melepas penat dan saling bercengkrama. Diasley kembali tersenyum melihat Leo yang kini ada di sampingnya dan Kimmy yang duduk di kursi penumpang bagian belakang. Di sebelah Kimmy ada Vale yang sedang bermain ponsel. Menatap jalanan yang ramai akan kendaraan yang membunyikan klakson mereka. Diasley tersenyum melihat kebahagiaan kecilnya ini. Walau pun ada yang kurang. Sejak malam itu, Andrew tidak pernah lagi berkumpul bersama. Diasley tidak pernah bertemu dengannya lagi. Andrew seperti menjauh tanpa sebab, atau... Diasley yang tidak tau sebab itu. Sebab yang membuat Andrew seakan merasa tak pantas lagi mengganggung kebahagiaan sahabatnya. Setelah pengumuman kelulusan pagi ini dan mengetahui bahwa mereka lulus, mereka segera menuju bandara untuk melepas kepergian Diasley. Gadis itu sudah memutuskan untuk mengikuti program beasiswa itu meski semuanya menentang bahkan memintanya tinggal. Dan hanya satu orang yang mampu menahan, tapi dia malah melepaskannya."Lo..." Kimmy menggentikan ucapannya ragu, "udah yakin bakal pergi?"
"Gue..." Diasley tersenyum, memandang jalanan ibukota sekilas lalu menatap mata Kimmy, "yakin."
Leo menolehkan pandangannya dari jalanan lalu menatap wajah Diasley ragu akan semuanya, "apa gak ada cara lain?" Jeda Leo, "Selain kuliah di London?"
Diasley menatap hangat Leo memberikan jawaban bahwa ia yakin, "gue gak ikut SNM atau bahkan daftan SBM, Yo, gue gak mungkin nggak ngambil beasiswa ini."
Diasley benar.
"Semuanya bakal baik-baik aja selama kita LDR-an ini," ucap Diasley yakin pada laki-laki yang ada di sampingnya kini.
"Tapi, lo jarang on skipe atau semacamnya, Dias" tutur Leo ragu pada perempuan yang akan segera pergi itu.
"Lo cuma perlu percaya, udah itu aja."
Lo cuma harus percaya sama apa yang harus lo percaya. Dan ketika apa yang harus lo percaya menghianati lo, itu tugas Tuhan menentukan semuanya.
----
Pagi ini Andrew datang ke sekolah. Dengan langkah kaki yang malas-malasan, Andrew menekan pedal gas ogah-ogahan. Hanya untuk mengambil surat kelulusan dan bertemu beberapa teman sepermainannya kemudian kembali pulang, walau tidak ada tempan berpulang. Setelah malam itu, Andrew tidak banyak bicara dan seakan berubah menjadi pribadi yang lebih dingin dan keras. Sejak malam itu, Andrew tidak pernah datang kerumah sakit untuk sekedar menjenguk Briliana. Sejak malam itu, Andrew menghabiskan waktunya menyesali semua keterlambatannya. Dan sejak malam itu, Andrew tinggal di apartmen nya. Tempat yang tidak pernah disinggahinya selama beberapa waktu. Andrew menjadi lebih sering diam dan merenung. Bermalas-malasan dengan banyak cangkir kopi kotor di meja belajarnya. Bukankan itu wajar untuk orang yang sedang libur panjang?
Tidak.
Hatinya tidak wajar.
Semenjak dia merelakan gadis itu pergi tanpa sempat mengungkapkan, dia menjadi merasa ada yang mengganjal dalam hatinya. Merasa dadanya sesak dan sulit bernafas. Merasakan bahwa matanya sulit terpejam dan dihantui bayang-bayang. Merasakan bahwa hatinya sakit dan dirundung rasa sesal. Dia merasakannya.
"Pagi bro!" Zio anak basket, yang juga notabene pernah dekat dengan Diasley itu memanggil Andrew.
Andrew tersenyum ramah, "apa kabar lo?"
"Gue baik," balas Andrew sekenanya membalas perkataan Zio, "yang lain mana?"
"Lagi pada nongkrong di kantin," ungkap Zio sambil menunjuk ke arah kantin menggunakan dagunya, "katanya last day nongkrong di kantin pake seragam."

KAMU SEDANG MEMBACA
DARK
Novela Juvenil[Complete] Laki-laki itu menatapnya dari bawah sambil berbaring dipaha gadis itu. "Jangan bicara seakan-akan lo bakal pergi." "It's real life, i told you for many times, Andrew." Dan kini gadis itu berada dipelukan sahabatnya setelah beberapa bulan...