"Lo tau, ada berbagai rasa sakit yang udah disaksiin tempat ini," itu pernyataan, bukan pertanyaan.
"Gue belum terlalu lama kenal lo, untuk tau masalah lo," jedanya, "semuanya."
"Menurut lo, kita terlalu muda buat tau tentang selamanya?" Tanya Andrew memejamkan matanya dan menikmati semilir angin yang berhembus dan membawa semua rasa tak nyaman yang ia rasakan akhir-akhir ini.
"Enggak kok, ini emang waktu yang tepat buat kita tau tentang selamanya," Diasley membenarkan rambutnya yang berantakan karna tertiup angin.
"It's hard, bahkan gue gak pernah kebayang, gimana gue selanjutnya. Disaat nanti kita pisah dan gak temenan lagi, disaat kita udah sama pilihan masing-masing, dan..." Kata-kata itu tergantung, "disaat kita udah sama pasangan masing-masing."
"Gue belum bisa mikirin itu semua sekarang, tapi yang ada dipikiran gue sekarang mungkin bakalan hampa tanpa kalian." Diasley menjepit hidung milik Andrew untuk membunuh suasana canggung diantara mereka karna perkataannya barusan. Entah mengapa kata-kata itu mengalir begitu saja.
"Suatu saat disaat gue gak sama kalian lagi, jangan lupain gue. Mungkin nanti gue udah bahagia sama hidup gue, dan mungkin gue udah ikhlas ngejalanin hidup gue yang udah dikasi sama tuhan. Gue selalu bersyukur, semoga gue selalu bersyukur." Sambung Diasley terkekeh canggung. Entah apa, ia memang selalu merasa bahwa masa depannya masi mengambang sejak beberapa tahun silam.
"Jangan ngomong seakan-akan lo bakal pergi."
"It's life, gue bilang itu berulang kali sama lo."
"Dias–" panggil Andrew sambil tetap menutup matanya. Diasley berdehem dan tetap melihat pemandangan sekitar danau yang entah mengapa lebih menarik.
"Jangan tinggalin gue sendiri."
----------
Pagi ini terasa begitu pilu bagi seorang gadis dibalik jendela kamarnya yang tak bisa tertidur pulas semalaman. Langit pun ikut bersedih dan menampakan warna gelap yang siap menumpahkan tangisannya kapan pun. Bahkan air mata pun tak mampu lagi untuk berkata menjelaskan semua yang ia rasakan. Begitu menyakitkan membayangkan semuanya. Kecelakaan itu kembali lagi terngiang diotaknya dan segala hal yang telah ia rasakan selama beberapa tahun belakangan ini. Gambaran kecelakaan itu berputar diotaknya seperti kaset yang rusak. Seiring dengan berbunyinya dentingan bel pintu rumahnya yang kini hanya ada dia seorang.
"Haiiiii!" Andrew berteriak didepan pintu rumah Diasley antusias.
"Hai," suara itu tampak dipaksakan, entahlah mungkin itu hanya perasaan Andrew saja.
"Lo kenapa?" Tanya Andrew heran kepada sahabatnya yang terlihat kurang baik itu.
"Ga ada, lagi cape aja. Masuk?" Tanya Diasley basa-basi
"Ya iyalah," Andrew merangkul Diasley masuk kerumah gadis itu kemudian duduk dikursi tamu yang didepannya ada sebuah televisi.
"Papa mana?" Tanya Andrew sambil mengambil remot TV di atas meja ruang tamu yang ada dirumah Diasley.
"Pergi, sama Kimmy." Jawab Diasley berjalan kearah dapur. Berniat untuk memberikan Andrew minuman sebagai tuan rumah yang baik.
"Minum apa lo?" Tanya Diasley setengah berteriak kepada lelaki yang kini sedang sibuk mengganti chanel televisi.
"Jus jeruk ada?" Andrew memberhentikan gerakan ibu jarinya menukar chanel televisi, "Haus nih," Andrew melirik sekilas kearah dapur dimana kini Diasley sedang berdiri membuka kulkas.
"Ada, nih," Diasley mengambil kemudian bejalan kearah ruang tamu dan meletakan sekotak jus jeruk dihadapan Andrew. Andrew sendiri kembali sibuk menukar chanel televisi.

KAMU SEDANG MEMBACA
DARK
Teen Fiction[Complete] Laki-laki itu menatapnya dari bawah sambil berbaring dipaha gadis itu. "Jangan bicara seakan-akan lo bakal pergi." "It's real life, i told you for many times, Andrew." Dan kini gadis itu berada dipelukan sahabatnya setelah beberapa bulan...