Jangan lupa baca hurting little stupid juga yaaa..Hubungan Diasley dan Andrew membaik setelah hari itu. Hari dimana Diasley menginap di rumah Andrew bersama Ara. Bukan di apartmen, melainkan di rumah Briliana dan Indra. Andrew sudah sering tinggal di sana sekarang. Mengingat hubungannya dengan Ara yang kini sudah lebih dari kata baik. Tapi, entah apa alasannya, akhir-akhir ini Andrew sering tinggal di apartmennya. Andrew tidak tahu pasti alasannya apa, tapi dia hanya merasa... Nyaman. Setelah cukup lama sedikit jauh dengan sahabat-sahabatnya -terutama Diasley– Andrew sudah menjadi dekat lagi dengan mereka. Tapi tetap saja, ada seperti rasa canggung antara Andrew dan Leo. Andrew pun tidak tahu pasti, tapi ia merasa Leo aneh.
"Akkkk!" Vale berteriak histeris, "ini udah masuk semester dua kelas dua belas dan gue lelah," Vale membenamkan wajahnya pada lipatan tangannya ketika mereka berempat sedang makan di kantin.
"Bentar lagi.." Gantung Andrew, "kita tamat."
Vale langsung menegakan kepalanya menatap mata teduh andrew.
"Kita kuliah, kita ngejar cita-cita, dan..." Andrew tersenyum getir.
"pisah."
Memang akan ada perpisahan di setiap pertemuankan? Itu sudah kodratnya.
"Oh ayolah, kalian jangan langsung berkesimpulan kita bakal pisah," Vale tertawa hambar, "belum tentu 'kan kita kuliah beda-beda? Bisa aja kita satu kampus. Ga usah langsung nethink lah."
"Tapi gue punya feeling," Leo mulai berbicar, "mungkin bener, kita bakal... Pisah."
"Lo semua jangan melankolis gini lah, pisah bukan berarti persahabatan kita putus," Diasley bergumam sambil mamakan bakso jumbonya.
Pisah bukan berarti putus.
"Tapi–"
"Eh makanan lo dateng, Drew," Diasley menggeser mangkuk milik Andrew ke arahnya.
"Besok gue ulangan Fisika," Vale menatap mangkuk makanan Andrew kosong, "tuhan, doain nilai gue gak dapet telor atau bebek."
"Gue tau temen gue ga sebego itu," Andrew memulai acara makannya, "lo mau makanan gue?"
"Eh?" Vale kecolongan memperhatikan mangkuk Andrew, "enggalah gue udah makan duluan."
Diasley menghela nafas yang membuat Andrew menoleh.
"Semuanya bakal baik-baik aja."
Nggak, semuanya nggak baik-baik aja.
------
"Hah, Yo, makalah-makalah sialan ini bikin gue muak jadi anak sekolahan," Diasley melempar contoh makalah mereka yang bertebaran. Tugas kelompok lagi. Tugas lagi. Tugas lagi.
"Entar juga lo kangen jadi anak sekolahan," Leo membenarkan letak kacamatanya dan melanjutkan mengetik makalah kelompok mereka. Sejak semester dua, Leo ternyata baru menyadari kalau dia minus. Tapi, Leo hanya menggunakan kacamata itu kapan ia butuh. Dan menurutnya dia sangat jarang butuh kacamata itu.
"Yang pasti gue gak bakal kangen sama tugas-tugas sialan ini," Diasley membenamkan wajahnya. Dua bulan lagi, mereka akan segera melepas seragam kebanggaan mereka. Putih abu-abu.
"Entar lagi UAS, lo udah siapin apa?" Leo bertanya tanpa mengalihkan pandangannya pada Diasley dan tetap sibuk mengetik.
Diasley menghembuskan nafas berat, "gak banyak."
"Setidaknya ada," Leo menekan tombol enter dan melepas kacamatanya dan memijat pelipisnya, "kepala gue sakit."
Kebiasaan Leo kalau lama-lama di depan laptop.

KAMU SEDANG MEMBACA
DARK
أدب المراهقين[Complete] Laki-laki itu menatapnya dari bawah sambil berbaring dipaha gadis itu. "Jangan bicara seakan-akan lo bakal pergi." "It's real life, i told you for many times, Andrew." Dan kini gadis itu berada dipelukan sahabatnya setelah beberapa bulan...