Prolog

121K 5.5K 123
                                    

Gadis cantik bertubuh tinggi itu berlari secepat yang dia bisa. Tubuhnya yang terlatih dengan baik karena ekskul taekwondo yang ditekuninya memungkinkannya memaksa diri bergerak cepat, meski berlari dari sekolah ke rumahnya jelas bukanlah hal yang ringan. Kemeja putihnya sudah basah oleh keringat, sementara rok abu-abunya sudah bergeser di pinggangnya yang ramping. Resluiting yang harusnya di belakang kini sudah pindah di depan perutnya. Namun, Anita, gadis itu, tidak peduli. Dia harus segera tiba dirumahnya.

Sayang, apa yang ditakutkannya benar-benar menjadi kenyataan. Saat dia berhenti berlari dan berdiri dengan tubuh gemetar di pekarangan rumahnya, dilihatnya beberapa orang berkerumun dengan wajah suram. Sang ibu sedang menangis histeris sambil memeluk sosok gempal yang terbaring di atas brankar yang baru keluar dari mobil jenazah yang tadi dia lihat melintasinya di jalan. Sosok gempal yang terbujur kaku itu adalah pria idolanya, ayahnya tercinta. Di bagian lain halaman rumah, adik laki-laki Anita, Aiden, terlihat berdiri memandang tubuh tak bernyawa ayahnya dengan tatapan kosong.

Beberapa saat membeku, Anita pun tak mampu lagi bertahan. Pandangan matanya mengabur, dan segala sesuatunya menghilang dalam gelap saat tubuhnya luruh ke tanah dibarengi jeritan sang ibu dan beberapa orang lain.

Empat tahun kemudian.....

Anita meletakkan dokumen terakhir yang sudah selesai disortirnya di atas meja, lalu dengan gerakan sigap dia merapikan kertas-kertas yang berserakan dan mengumpulkannya menjadi satu dalam sebuah file keeper plastik agar rapi. Sekali lagi dia mengecek semua pekerjaan yang sudah selesai, lalu menutup komputernya.

Dilihatnya jam dinding bundar berwarna putih dengan lis emas sekeliling lingkarannya yang menunjukkan pukul 17.30 WIB sore, dan dia mendesah letih.

Empat tahun sudah berlalu, dan dia masih terus merasakan kehilangan yang sama di jiwanya. Ayahnya, sosok yang sangat dia cintai, yang selalu menyemangatinya, mendukung semua keputusannya meski terkadang salah, dan selalu menyediakan pundaknya saat untuk pertama kalinya Anita menangis karena putus cinta di usia remaja. Bukan hal mudah untuk bangkit setelah kepergiaan beliau yang mendadak.

Hari ini adalah peringatan kematian ayahnya, tetapi Anita menghabiskan seluruh waktunya untuk bekerja. Perasaan sakit karena kehilangan sang ayah membuatnya segan untuk pulang. Menghabiskan waktunya dengan bekerja mencari nafkah bagi ibu dan adik semata wayangnya adalah cara yang dia pilih untuk mengalihkan pikirannya dari rasa kehilangan itu. Meski untuk gadis semuda dia, beban yang harus ditanggungnya sama sekali tidak ringan.

Mau bagaimana lagi? Sejak kematian ayahnya, otomatis tanggung jawab sebagai kepala keluarga berpindah padanya sebagai anak tertua, bukan?

Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bekerja. Adik laki-lakinya, malah tenggelam dalam dunianya sendiri yang begitu suram. Anita selalu tahu kalau Aiden menyalahkan dirinya sendiri untuk apa yang menimpa ayah mereka, meski entah untuk alasan apa.

Saat ini Anita meneruskan kuliahnya sambil bekerja untuk menambah penghasilan sebagai asisten pribadi bagi seorang pria berkarisma, Samudra Buana, mantan murid ayah Anita saat beliau masih mengajar. Samudralah yang sejak awal menawarkan agar Anita bisa bekerja sambil kuliah di tempatnya, dan bantuannya itu sangat berarti bagi Anita dan keluarganya.

Bahkan lebih dari itu.

Pandangan Anita beralih dari jam dinding ke arah Samudra yang masih tampak tekun dengan pekerjaannya. Dia tersenyum kecil.

"Mas Sam, aku sudah boleh pulang?" tanyanya hati-hati.

Sepertinya pria itu tidak mendengar perkataannya, membuat Anita menghela napas. Meski usianya masih belia, Anita sudah mampu mengendalikan diri dengan baik. Efek kehilangan ayah di usia muda, dan menjadi tulang punggung sekaligus menjadikannya pribadi yang terkendali dan tidak emosional.

My Hand In YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang