"No more mistakes, Anita, ingat itu." Adrian berkata dingin sambil berjalan mendahului.
"Iya, Pak." Anita berjalan patuh di belakangnya, bersyukur dalam hati karena sepertinya dia lolos kali ini.
Beriringan keduanya berjalan menuju kantor kembali, tetapi Anita langsung mengerutkan kening saat Adrian malah berjalan ke lift umum yang letaknya lebih dekat dari pintu lobi dan bukannya masuk ke dalam lift eksekutif yang dikhususkan untuknya dan anggota dewan direksi lain. Memilih diam dan tidak mempertanyakan tindakan bosnya, Anita pun ikut masuk ke lift.
Terdengar derap langkah ringan, dan sepasang anak muda masuk ke dalam lift yang sama, membuat Anita dan Adrian spontan mundur untuk memberikan tempat. Kedua anak muda itu bercakap-cakap lirih, tetapi penuh semangat. Tanpa diingininya Anita mulai mengalihkan perhatian dari bosnya yang sedang dalam mode silent kepada keduanya. Sosok gadis bertubuh mungil dengan rambut keriwil yang selalu menggoyangkan kepalanya tiap kali bicara itu langsung membuatnya tersenyum.
Optimisme yang memancar dari bahasa tubuhnya, entah kenapa, membuat Anita seperti terlempar ke masa delapan tahun lalu, saat segala sesuatunya masih begitu indah, dan berwarna. Saat ayahnya masih hidup, dan sebuah rasa rindu menyerangnya tiba-tiba. Membuatnya menjadi sentimentil tanpa dia inginkan.
Denting pintu lift menarik Anita dari kenangannya, dan membuatnya fokus kembali. Pintu lift terbuka, dan ternyata kedua anak muda itu juga turun di lantai yang sama dengannya dan Adrian. Pemuda berwajah tampan dengan mata sipit dan kulit putih itu langsung berjalan menuju ke resepsionis, sementara gadis mungil berambut keriwil malah berhenti di depan pintu lift tanpa menyadari kalau ada dua orang lain yang akan melewati tempatnya berdiri.
"Permisi."
Anita sampai menoleh kaget saat mendengar Adrian berkata sopan pada gadis mungil itu, yang langsung menengok dan menatap bos Anita dengan matanya yang bersinar seperti kerlip bintang. Sebuah senyum lebar terulas di bibirnya yang polos tanpa lipstik, dan Anita langsung terpukau. Dia jatuh hati pada gadis itu!
"Eh, maaf. Laras ngalangin, ya?" Gadis itu bertanya dengan nada polos. Dia langsung menyingkir untuk memberi jalan.
Jadi ... namanya Laras. Cocok sekali dengan paras polos wajahnya.
Saat itulah sebuah keajaiban terjadi. Anita melihat bosnya yang terkenal angker, menarik sudut bibirnya ke atas dan tersenyum tipis. Membuatnya langsung shock karena terkejut.
"Tidak apa," jawab Adrian, lalu melangkah melewati gadis mungil itu yang langsung melangkah menuju ke resepsionis, mengikuti teman prianya.
Untuk beberapa detik Anita masih terpana oleh senyum si bos yang sangat langka, tapi seperti ingin memberikan kejutan lain, Adrian malah menghentikan langkah dan menatapnya.
"Kalau anak perempuan tadi melamar kerja di sini, terima saja," katanya sambil menatap Anita lekat.
Anita kembali kehilangan orientasi. Benarkah ini bosnya yang bicara? Cepat, dia menjawab dengan sedikit gagap. "Oh ... eh ... baik, Pak Adrian."
Anita berbalik menuju resepsionis di mana kedua anak muda tadi sedang menyerahkan lamaran untuk mengisi lowongan pekerjaan yang ditawarkan oleh perusahaan. Diambilnya amplop cokelat dari tangan gadis bernama Laras sambil tersenyum manis pada wajah mungil yang tampak heran.
"Lamarannya ditinggal saja, nanti kami beri tahu kalau kamu dipanggil untuk interview," katanya ramah.
Gadis mungil itu membesarkan matanya yang bulat. "Oh ... oke, Bu. Mmmm ... nomor telepon yang ada di situ bukan punya saya, tapi punya papa saya, ya. Jadi ... jangan kaget kalau yang terima laki-laki," katanya sambil tersipu, dan Anita sempat tersesat sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hand In Yours
RomanceMasa lalu ada di belakang, tertinggal bersama dengan segala pahit dan manisnya. Tapi kamu adalah masa depanku, dan saat tanganku ada dalam genggamanmu, aku adalah seorang pemenang. Menang dalam perang yang bernama...masa lalu. Karena cerita ini suda...