Yemima yang penasaran dan Anthony yang usil

33K 3.7K 77
                                    

"Mamah ... Onty Ajeng sama Daddy Eden ga pulang?" Yemima bertanya sambil menalikan sepatunya sendiri dengan terampil.

Anita memperhatikan putrinya yang kelihatan jauh lebih mandiri dibanding anak seumurnya itu dengan sayang. "Enggak, Sayang. Mereka sibuk," jawabnya sambil memasukkan setangkup roti lapis ke dalam kotak makan Yemima.

Yemima mengangguk-angguk hingga membuat kuncirnya yang tipis bergoyang-goyang. Wajah imutnya terlihat berpikir dan mengkerut untuk beberapa saat. "Mamah ... uncle yang kemalin itu, matanya glin. Kayak mata Mima," cetusnya polos.

Anita tertegun. "Uncle yang kemarin?"

Bocah empat tahun itu menatap Anita dengan penuh keingintahuan. "He'eh. Yang kemalin. Kok sama sih, Mah?" tanyanya kemudian. Selama ini Yemima tahu kalau matanya berbeda dengan teman-temannya, mungkin itu sebabnya warna mata Adrian kemarin langsung menarik perhatian karena mirip dengannya.

Anita tersenyum dan mengusap kepalanya lembut. "Iya, Sayang. Uncle yang kemarin itu papanya orang bule, makanya dia punya mata yang mirip sama Mima. Papa Mima kan juga orang bule. Nah ... matanya orang bule ada yang green, blue, brown. Macem-macem, deh," jawabnya. Dia terpaksa mencampur bahasanya karena di TK tempat Yemima bersekolah menggunakan dua bahasa. Indonesia dan Inggris. Karena Yemima masih kecil, terkadang dua bahasa itu memang tercampur di lidahnya.

Yemima mengangguk-angguk. "Oh ... Papah juga olang bule, Mah?" tanyanya lagi dengan lidahnya yang masih cadel. Huruf R memang masih dilafalkannya dengan L.

Anita mengangguk sambil tersenyum. Dia memang tidak menyembunyikan jati diri Yemima darinya. Dia ingin Yemima tahu kalau dirinya memiliki seorang ayah, yang masih belum bisa bertemu dengannya saat ini.

Yemima terlihat semringah. "Papah cakep kayak ooommm itu, Mah?" kembali dia bertanya.

Anita mengangguk. "Cakep ... lebih cakep dari om itu," jawabnya.

Wajah Yemima langsung cerah. Dia menggoyangkan kepalanya dan mulai menyanyikan sebuah lagu berbahasa Inggris dengan lidahnya yang cadel sambil menepuk-nepukkan tangan mungilnya. "Tis is de wey wi klep awel hens ... klep awel hens ... klep awel hens ... so elliii in te molning," lafalnya dengan lancar.

Anita tersenyum perih. Batinnya berperang melihat keceriaan putrinya. Dia membayangkan, bagaimana kalau Anthony menolak Yemima? Atau lebih buruk, bagaimana kalau keluarga pria itu, yang terkenal angkuh dan tertutup, mengambil malaikat kecilnya ini jika mereka tahu tentang dia, tapi tidak mau menerima dirinya yang sama sekali bukan perempuan yang sederajat dengan Anthony?

Berat Anita menghela napas. Berbagai skenario yang mirip sinetron kejar tayang berseliweran di kepalanya, dan tidak satu pun yang bagus. Dia takut, bagaimana kalau salah satu sinetron itu terjadi di dalam hidupnya yang sudah cukup berat?

Meski kemudian dia kembali menegaskan pada dirinya sendiri. Dia tidak akan pernah membiarkan hal buruk terjadi pada Yemima. Tidak, setelah semua yang dilaluinya. Dia bukan wanita lemah, dan tidak boleh cengeng!

"Mbak Nita, Sabtu depan ambil rapotnya Mima, ya." Mbak Tin, pengasuh Yemima berkata pada Anita, membuatnya tersadar dari lamunan.

"Oh ... iya, Mbak Tin." Anita menyahut.

Mbak Tin adalah wanita periang yang dulunya membantu Bulik Din untuk mengasuh Ajeng. Sebagai seorang pedagang, Bulik Din dulunya sulit membagi waktu untuk mengasuh putrinya. Karena sudah sangat dekat dengan keluarga Bulik Din, Mbak Tin dekat juga dengan Anita dan Aiden serta Yemima.

"Jam delapan ya, Mbak. Lebih pagi lebih baik, jadi enggak antri Mbak ngomong sama gurunya. Soalnya kalau keburu siang, nanti Mbak harus ketemu sama orang tua lain. Enggak enak kalau sampai diajak ngerumpi, Mbak." Mbak Tin menyambung lagi. Ada kecemasan dalam suaranya.

My Hand In YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang