Anita tidak pernah mengira kalau dia akan bisa tertawa lagi. Sejak meninggalkan Samudra, dan bekerja sebagai karyawan di sebuah kafe di Kuta Bali, baru kali ini dia bisa tertawa. Padahal selama satu bulan ini dia hanya menghabiskan waktu dengan termenung dan menyesali semua yang terjadi padanya. Semua hal buruk yang sepertinya begitu bersemangat untuk menekan hidupnya. Tapi pria ini, dengan ketampanannya yang luar biasa, mata indah berwarna biru kehijauan, lesung pipit yang dalam, sikap luwes dan ramah, serta sangat jenaka, seolah menariknya dari semua kemuraman. Untuk pertama kalinya Anita sadar, dia merasa nyaman pada seorang pria selain Samudra.
"Jadi kukatakan pada mahasiswa brengsek itu, hei, Man, Kalau kau mau, kita bisa bertaruh. Jika aku bisa mengalahkanmu dalam permainan ini, kau harus datang ke kampus dengan hanya memakai boxer yang dipadu jas hitam, dan kau juga harus mencium tangan dosen bernama Mr. Smith itu tiap kali datang. Aku akan melakukan persis seperti itu jika aku yang kalah. Malah ... aku akan menyerahkan Porsche-ku untukmu."
"Dan dia mau?" Anita bertanya antusias.
Anthony mengangguk bersemangat. "Ya. Apalagi saat aku meletakkan kunci Porsche-ku di atas meja. Jadi kami mulai permainan setelah sebelumnya menandatangani kontrak, dan tebak ... bagaimana hasilnya?" Dia menatap Anita dengan wajah bersinar.
"Dia kalah?" Anita menebak.
Senyum di bibir Anthony melebar, membuat lekukan di pipinya menjadi dalam dan menyesatkan Anita seketika.
"Dia kalah tentu saja. Tapi yang paling menyenangkan adalah saat melihat wajahnya yang pucat ketika aku menyodorkan tanganku untuk dia cium. Saat itu bukan hanya dia yang wajahnya berubah sepucat mayat, tapi juga seluruh isi kelas. Mereka baru menyadari kalau ternyata dosen mereka sudah ada dari tadi di situ. Hahahaha..."
Anita terpana melihat tawa Anthony. Diminumnya kembali cairan beralkohol dalam gelasnya, dan untuk sesaat dia merasakan sekelilingnya berputar, tatapannya juga mengabur. Saat dia mengerjap, sebuah rasa aneh tiba-tiba menguasai benaknya. Tanpa diingininya, ada hasrat asing yang timbul dalam dirinya. Hasrat untuk menyentuh lekuk dalam di pipi Anthony.
Di saat yang bersamaan, mendadak Anthony menghentikan tawanya, lalu menatap Anita dengan intens. Matanya berkabut, dan Anita tahu, Anthony sudah lebih dulu mabuk karena dia meneguk gelas keempatnya.
"Kau cantik sekali, Anita." Anthony berkata tiba-tiba.
Anita membelalak. Rasa panas menjalar di pipinya. "Apa sih ...," tepisnya.
Anthony menatap lama.
Anita menegakkan tubuh, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan, meski dia malah merasakan pandangannya berputar. "Kau bilang itu terjadi dua tahun lalu, berarti waktu itu kau masih dua puluh tahun. Wow ... semuda itu dan sudah menjadi salah satu dosen MIT?"
"Dosen tamu. Hanya tamu." Anthony mengoreksi. Dia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir rasa pusing yang menyerangnya. Juga gairah yang membumbung tiba-tiba melihat betapa menggiurkannya wanita di hadapannya.
"Yah ... tamu. Tapi tetap saja, itu hebat! Memangnya berapa sih tinggi IQ-mu?"
"Hmmm.. terakhir di cek, 185. Kenapa?"
Mata Anita membesar. Dia mengerjap-ngerjap. "Yang betul? Itu betul?" tanyanya tak percaya.
Anthony tersenyum. "Harus ya, heboh begitu?" komentarnya geli. Kepalanya kembali menggeleng-geleng.
Anita tersipu. "Hmmm ... gimana yah? Soalnya itu tinggi banget," katanya. Tak sengaja dia kembali meminum cairan di gelasnya.
Anthony tetap tersenyum, tapi Anita berani bersumpah, dia bisa melihat mata pria itu menggelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hand In Yours
RomanceMasa lalu ada di belakang, tertinggal bersama dengan segala pahit dan manisnya. Tapi kamu adalah masa depanku, dan saat tanganku ada dalam genggamanmu, aku adalah seorang pemenang. Menang dalam perang yang bernama...masa lalu. Karena cerita ini suda...