Anthony melengos dan berbelok ke pantri hanya untuk menghindari Anita yang langsung mengerutkan kening. Apakah Anthony marah? pikir Anita. Huh! Apa-apaan itu? Pagi-pagi cari masalah?
Sambil sedikit mengentakkan langkahnya, Anita langsung memasuki ruangannya. Ditutupnya pintu dan langsung dinyalakannya komputer. Anthony ingin merajuk? Silakan! Toh, dibanding Anita, Anthony yang lebih membutuhkannya.
Namun, sebuah perasaan bersalah muncul perlahan. Apakah dia keterlaluan? Kenapa dia harus marah-marah kepada Anthony? Kalau hanya karena Anthony menyukai seseorang, bukan berarti dia berhak marah, bukan? Meskipun orang itu adalah Laras yang disukainya juga.
Tapi ... Laras disukai Adrian. Berarti gadis itu seharusnya terlarang bagi Anthony. Iya, kan? Satu suara dalam benaknya berkata yakin. Masalahnya, Anthony belum tahu soal Adrian dan Laras, berarti dia tidak bisa disalahkan, ujar suara lain di benaknya. Anita mendesah. Sepertinya dia memang keterlaluan.
Diraihnya tasnya untuk mengambil kotak bekal yang belum sempat diberikannya kepada Laras. Dia bangkit dan beranjak keluar. Di depan ruangannya, entah sial ataukah beruntung, lagi-lagi dia berpapasan dengan Anthony yang kali ini tidak bisa menghindar.
Sepertinya Anthony benar-benar mengambek, karena dia tidak menyapa dan hanya mengangguk, sebelum buru-buru melewati Anita. Entah datang dari mana niatnya, Anita mencegat Anthony dengan kakinya.
"Pagi, Pak Thony," sapanya dengan nada menyindir.
Anthony menatapnya sinis—setidaknya dia berusaha untuk terlihat sinis—yang sama sekali tidak membuat Anita gentar. "Pagi."
"Lagi ngambek?"
Mata hijau Anthony membelalak. "Ngapain kamu tanya? Bukannya kamu lagi bete sama aku, Nita?"
Anita mengangkat bahu. "Saya tidak akan merasa kesal tanpa alasan. Tapi sekesal apa pun saya pada Pak Anthony, tetap saja saya akan berusaha profesional dan memaafkan Bapak karena Bapak sahabat saya. Nah ... Bapak belum tahu apa yang bikin saya kesal, tapi malah gantian ngambek? Yang betul aja."
Usai mengatakan itu Anita melangkah melewati Anthony yang melongo. Tak diketahuinya, Anita menahan senyum karena melihat wajah bodoh pria bule itu. Rasanya menyenangkan sekali mengerjai Anthony sesekali.
*************
"Mbak Nita! Laras jualan nasi uduk, tapi khusus buat Mbak Nita, Laras punya yang gratis. Kan Mbak selalu kasih Laras sarapan," kata Laras riang sambil berjalan lincah ke mejanya.
"Jualan nasi uduk? Oh. Pantesan Mbak enggak lihat kamu tadi di meja," sahut Anita sambil meletakkan kotak sarapan di meja Laras.
Laras menyeringai lebar. "Iya, Laras keliling dulu ke tempat Pak Satpam, Mas OB, sama teman-teman di bagian lain. Puji Tuhan, hampir habis, nih. Tapi jangan khawatir, Laras sisain buat Mbak Nita."
Anita menggeleng. "Enggak. Mbak bayar aja. Kamu kan jualan."
Laras langsung cemberut. "Enggak mau! Kalo Mbak Nita bayar, Laras enggak mau dikasih sarapan lagi."
Anita tersenyum. "Ya, sudah. Kalau Mbak makan siang aja, bisa? Enggak basi, kan?"
"Enggak, dong! Mama Laras kan masaknya pinter, enggak akan basi asal jangan besok makannya. Ini."
Anita langsung menghidu harum nasi uduk yang gurih saat Laras menyodorkan satu bungkusan berwarna cokelat kepadanya. Seketika perutnya berbunyi. "Waduh, baunya enak banget. Mbak jadi kepengin sarapan lagi, kan."
Laras cekikikan. Saat itu dia melihat ke arah ruangan sekretaris Anthony. "Mbak Ayu sudah datang, Mbak?"
Anita menggeleng. "Belum lihat. Kamu cek aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hand In Yours
RomanceMasa lalu ada di belakang, tertinggal bersama dengan segala pahit dan manisnya. Tapi kamu adalah masa depanku, dan saat tanganku ada dalam genggamanmu, aku adalah seorang pemenang. Menang dalam perang yang bernama...masa lalu. Karena cerita ini suda...