Sebuah gelas berembun dengan cairan berwarna cerah di dalamnya, tiba-tiba diletakkan di hadapan Anita. Sebentuk senyum tercipta di bibirnya, dan dia menoleh lalu mendapati wajah tampan Samudra yang menatapnya.
"Makasih, Mas Sam," ucapnya sambil meraih gelas itu dan menyesap isinya. Jus jeruk manis kesukaannya.
"Sama-sama, Nita. Jadi kita keluar malam ini?"
Anita mengangguk. "Memangnya Mbak Dewi enggak di rumah?"
"Ada. Seperti biasa, mana dia peduli?"
"Oh ...."
Samudra duduk di depannya, dan mulai menikmati makan siangnya, sementara Anita termangu memandangnya. Beberapa saat lamanya dia diam sampai Samudra menyadari tatapannya dan mengangkat wajah untuk melihat gadis itu.
"Ada apa?" tanyanya.
Anita mengerjap. "Uhm ... sebetulnya, kita ini ... apa?" Dia balik bertanya.
Samudra tercenung. "Maksud kamu?"
Berat Anita menghela napas. "Aku merasa bersalah sama Mbak Dewi. Maksudku, aku mengambil waktu yang seharusnya kamu habiskan dengan dia. Rasanya seperti jadi pengganggu dalam pernikahan kalian."
"Kamu bukan pengganggu. Tanpa ada kamu pun perkawinanku dengan Dewi sudah tidak baik-baik saja."
"Tapi, bukannya kalian saling mencintai? Untuk bisa bersama kalian sudah melewati banyak rintangan, kan?"
Samudra tersenyum pahit. "Iya. Tapi entah sejak kapan, kami mulai berhenti saling peduli. Saat kami bersama, rasanya jarak di antara kami justru malah semakin membesar. Mas tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk mengatasi itu. Entah kesalahan apa yang pernah Mas lakukan sebelumnya sampai Dewi selalu menatap Mas dengan penuh kebencian."
Anita terdiam.
Saat itu Samudra meraih jemarinya dan meremasnya hangat. "Maaf ya, Nita. Mas juga enggak suka membuat kamu berada di posisi ini. Tapi, saat ini Mas butuh seseorang untuk bisa membuat Mas tetap waras. Mas sayang sama kamu, dan butuh kamu untuk bisa membuat Mas nyaman."
Sepasang sungai bening mengalir di pipi Anita. "Aku merasa jahat, Mas."
Jemari Samudra menghapus air matanya. "Bukan kamu yang hadir dalam pernikahan kami, Nita. Mas dan Dewi yang kini saling memunggungi. Kamu enggak salah sama sekali."
************
Untuk beberapa saat Anita menangis dalam pelukan Risma, sampai akhirnya dia merasa lelah, dan menjauhkan tubuhnya, lalu terduduk di lantai. Bersimpuh di hadapan sang ibu yang mulai ikut menangis.
"Mbak Dewi enggak pernah membahagiakan Mas Sam ... dia enggak mau memberikan yang dibutuhkan Mas Sam. Dia selalu saja sibuk dengan hidupnya sendiri dan tidak mempedulikan suaminya. Nita yang selalu ada di sisi Mas Sam, Ma." Anita berkata lirih. Nadanya penuh pembelaan diri.
Risma menghela napas. "Meski begitu, Mbak Dewi tetap istri Mas Samudra, dan kamu tetap orang luar," sahutnya tak terbantah.
"Mas Sam mencintai Nita ... dan Nita ... juga mencintai Mas Sam."
Risma kembali menghela napas. Perlahan dia ikut duduk di lantai, berhadapan dengan putrinya. Wajahnya menyiratkan kesedihan yang luar biasa.
"Nita ... Mama enggak bisa bicara banyak tentang hal yang kamu pikir sebagai cinta. Apa pun yang Mama katakan, pasti akan kamu bantah. Di saat hatimu dipenuhi cinta pada seorang laki-laki, tidak akan ada yang salah tentang itu di matamu. Seandainya Mama bicara sebaliknya, dan bilang bahwa itu salah, justru Mama yang akan salah di mata kamu. Tapi ... Mama cuma ingin kamu pikirkan satu hal. Bagaimana jika Mama yang ada di posisi Mbak Dewi? Sebagai ibu rumah tangga yang tidak memiliki skill kantoran, Mama tidak mampu memberikan dukungan yang diberikan oleh partner kerja Papa kamu, yang pastinya lebih mengerti dirinya dalam pekerjaan. Jika karena itu Papa berpaling pada wanita itu, apakah menurut kamu itu adil bagi Mama?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hand In Yours
RomanceMasa lalu ada di belakang, tertinggal bersama dengan segala pahit dan manisnya. Tapi kamu adalah masa depanku, dan saat tanganku ada dalam genggamanmu, aku adalah seorang pemenang. Menang dalam perang yang bernama...masa lalu. Karena cerita ini suda...