"Sudah kamu antar sampai rumah, Nita?" Anthony bertanya melalui telepon.
Anita menjepit ponselnya di antara telinga dan bahu, sementara tangan kanannya memasukkan kode keamanan pintu apartemen, dan tangan kiri mengepit tasnya.
"Ya. Saya malah sempat ketemu orang tuanya. Mereka orang hebat," jawabnya, berbarengan dengan pintu yang membuka dan dia pun masuk. Dibukanya sepatu heels tujuh centinya, dan diletakkannya di tempat yang tersedia dekat pintu masuk, sementara tasnya dia letakkan di atas meja sofa.
"Menurut kakakku juga begitu. Ayahnya Laras mirip dengan anak itu katanya. Betulkah?" Anthony bertanya lagi. Terdengar penasaran.
Anita meletakkan bokongnya di sofa, lalu memijit-mijit tumitnya yang pegal. Dengan tangan yang sudah bebas dia juga lebih leluasa memegang ponsel.
"Yups, mirip sekali. Tapi katanya sih, semua anak perempuan pasti mirip ayahnya," jawabnya. Sebuah rasa tercubit di benaknya membuat Anita mengernyit. Bukankah Yemima juga sangat mirip dengan Anthony?
Anthony tertawa renyah. "Bisa aja kamu, Nita. Adik bungsuku sama sekali enggak mirip ayahku. Malah wajahnya jauh lebih pribumi dari pada aku dan Kak Adrian," bantahnya.
Anita ikut tertawa kecil. "Yah ... itu kan katanya," kilahnya.
Anthony makin geli tertawa. Setelah beberapa saat, pria itu terdengar menguap, lalu menggerutu jengkel, membuat Anita tersenyum sendiri.
"Ya, sudah, Nita. Aku harus balik ke ruang meeting, dan bahas langkah apa yang harus kami ambil, sampai besok pagi."
"Oke, sampai besok pagi, Pak Thony."
Sambil menghela napas Anita mematikan ponselnya. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam, dan dia menyandarkan tubuhnya, lelah. Benaknya berujar, sudah jam segini, dan Anthony masih harus rapat dengan Adrian? Kasihan sekali pria-pria itu. Anita pun bersyukur, karena meski Adrian bukanlah bos yang ramah sejak dulu, tapi pria itu tidak pernah mengharuskan dia lembur sampai malam. Biasanya paling lambat Anita pulang ke rumahnya jam tujuh dari kantor, dan sepanjang dia bekerja dengan Adrian, itu hanya terjadi beberapa kali.
Ingatannya melayang pada kejadian sore ini, saat dia dan Anthony memergoki Adrian, berciuman dengan gadis mungil Laras. Setelah debat panjang lebar Anthony versus Laras, yang membuat gadis polos itu shock, karena ceramah singkatnya yang berkonten terlalu dewasa, akhirnya Anthony menang, dan membuat Laras berjanji akan menikah dengan Adrian di waktu yang ditentukan oleh Anthony. Tak sampai di situ, setelah membuat Laras menyerah, Anthony pun meminta Anita untuk mengantar gadis mungil itu pulang. Sekalian memastikan Laras tidak berubah pikiran.
Meski Anita tahu maksud Anthony adalah untuk membantu kakaknya meresmikan hubungan dengan Laras lebih cepat, tetap saja, cara yang digunakannya itu usil bukan main. Membuat Laras merasa bersalah karena menyebabkan Adrian menyembunyikan hubungan mereka. Hm ... Anthony memang juara dalam memanipulasi pikiran orang lain, terutama yang sepolos Laras.
Teringat kembali saat dia mengantar Laras.
***********************************
Anita melirik gadis mungil di sebelahnya, yang tampak sedang berpikir keras. Wajah Laras terlihat kusut, dengan rambut keritingnya yang berantakan, sementara bibirnya mengerucut karena cemberut membuatnya terlihat lucu. Gemas Anita mengulurkan tangan kirinya ke samping, dan menarik bibir Laras yang langsung membelalak."Ih,Mbak Nita," rajuknya, makin cemberut.
Anita tertawa. "Kenapa sih, Ras? Kamu enggak suka karena Pak Thony nyuruh kamu nikah dengan Pak Adrian segera?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hand In Yours
RomanceMasa lalu ada di belakang, tertinggal bersama dengan segala pahit dan manisnya. Tapi kamu adalah masa depanku, dan saat tanganku ada dalam genggamanmu, aku adalah seorang pemenang. Menang dalam perang yang bernama...masa lalu. Karena cerita ini suda...