Papah pasti pulang

20.5K 2.7K 74
                                    

Anthony memainkan jemari mungil Yemima, dan terkadang menciuminya dengan penuh cinta. Tidak peduli kalau gadis mungil itu sudah tertidur lelap. Dia juga mengabaikan Anita yang mondar-mandir gelisah, meminta agar Yemima dibaringkan di ranjangnya. Sejak mengetahui keberadaan Yemima, tidak satu patah pun kata keluar dari mulut Anthony. Dia membisu dan hanya memeluk Yemima yang begitu gembira mengetahui kalau Anthony adalah ayahnya.

"Anthony, please. Mima harus ditaruh di ranjang, yah? Kasihan kalau dia terus kamu pangku ... nanti dia pegal." Anita mengiba.

Seperti tidak mendengar Anthony tetap memeluk putrinya dan menciumi jemari mungil serta rambut pirangnya yang lembut.

Anita berdiri putus asa dan ketakutan. Dia tidak pernah melihat Anthony seperti ini. Selama ini semarah apa pun Anthony, biasanya akan tetap bicara, tapi ini? Apakah karena selama ini Anthony tidak pernah marah kepadanya? Tapi ... bukankah Anthony pantas marah? Pantas merasa terguncang karena setelah sekian lama bersama dengan Anita, dia baru tahu kalau sudah memiliki anak. Itu pun dengan cara yang sangat tidak terduga.

"Anthony, aku minta maaf. Aku salah. Kumohon, ayo kita bicara. Tapi biarkan Mima tidur di ranjangnya dulu, ya?" Anita tidak mampu lagi menahan air matanya saat bicara, dan saat itulah Anthony berkedip.

Pelan dia tertunduk, dan melihat Anita yang bersimpuh di hadapannya dengan bersimbah air mata. Sepasang aliran bening pun ikut meluncur turun di pipinya. "Aku punya anak," bisiknya. Kalimat pertamanya sejak tadi.

Air mata Anita menderas. "Ya. Kamu punya anak," sahutnya terisak.

Anthony mengerjap, lalu kembali menciumi rambut Yemima. "Sayang ... buka matanya. Papa mau lihat mata kamu," bujuknya.

"Anthony...."

"Buka,yah. Buka dong."

"Anthony, dia tidur. Ini sudah malam. Biar dia tidur dulu ya?"

Anthony melihat pada Anita yang masih berlutut di depannya. Tiba-tiba wajahnya mengeras. "Apa kamu ingin menjauhkan aku darinya?" tanyanya dingin.

Anita menggeleng. Isaknya makin keras. "Tidak. Aku tidak ingin menjauhkan Mima darimu ... kamu bisa terus bersamanya. Tapi kumohon, biar dia tidur di ranjangnya dulu, ya?"

Anthony masih menatap tajam, lalu tiba-tiba bangkit. "Di mana ranjangnya?" Dia melangkah melewati Anita.

Sambil menghapus air matanya, Anita ikut bangkit dan berjalan menyusul Anthony. "Kamarnya di situ, ayo kutunjukkan," katanya lembut sambil menyentuh bahu Anthony.

Anthony berjengit karena sentuhan Anita, membuat Anita merasakan sakit di hatinya. Dalam diam pria itu mengikuti Anita menuju ke kamar yang ditunjukkannya.

Sangat hati-hati Anthony meletakkan Yemima di ranjangnya. Yemima meregangkan tubuh sebentar lalu bergerak-gerak mencari posisi yang nyaman. Saat jemari mungilnya meraih jemari Anthony, gadis kecil itu pun langsung tenang dan kembali terlelap. Anthony membaringkan separuh tubuhnya di sebelah Yemima, dan menarik tubuh putrinya itu ke dalam pelukannya. Tak berapa lama kemudian, matanya mulai menutup dan Anita bisa melihat pundaknya yang bergetar. Anthony menangis.

Anita meluruh dalam rasa bersalah. Bagaimana mungkin dia telah menyakiti pria itu sedemikian rupa? Dia pun hanya bisa berdiri di tempatnya, menyaksikan pria yang selama ini begitu manis dan lucu, berada pada titik terlemahnya.

"Jam berapa besok dia sekolah?" tanya Anthony lirih.

Anita tergagap. "Oh ... uhm ... jam tujuh pagi," jawabnya gugup.

Anthony melepaskan jemari Yemima dengan berat hati, lalu bangkit dan beranjak keluar. "Besok aku yang akan mengantar dia sekolah. Jangan berani-berani menghalangiku," katanya dingin.

My Hand In YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang