Tak Seperti Yang Terlihat

36.8K 3.9K 77
                                    

Anthony sedang menekuni layar komputernya dengan kacamata baca yang keren bertengger di hidung mancungnya, saat Anita mengetuk pintu. Wajah tampannya mendongak dan langsung tersenyum melihat gadis cantik yang berdiri anggun di pintu itu.

"Hai Nita," sapanya ramah.

Anita balas tersenyum. "Hai, Pak Thony. Sedang sibuk?"

Anthony menggerakkan bahu. "Seperti biasa," jawabnya. "Masuklah."

"Oh ... maaf, saya harus segera ke tempat meeting di gedung sebelah. Saya mampir cuma untuk menyampaikan kalau Bapak ditunggu Pak Adrian di ruangannya. Beliau butuh membahas beberapa hal sebelum meeting nanti."

"Begitu? Baiklah. Lima menit lagi aku ke sana." Anthony kembali mengarahkan matanya ke layar komputer. "Nice dress, Nita. Makes you look yummy," sambungnya tanpa mengangkat wajah.

Anita melebarkan matanya. Sebuah tawa kecil terlompat dari mulutnya. "I am not food, but ... thanks," balasnya, lalu pergi.

Anthony mengulas senyum tipis. Tanpa diingininya, sosok Anita sudah mulai menjadi bagian yang lumayan penting dalam hidupnya saat ini. Anita yang tenang dan dingin, yang bijak dan sangat sabar, tapi tidak menunjukkan kesan genit atau keinginan untuk menjadi spesial baginya. Sikapnya itu membuat Anthony justru makin nyaman dengan keberadaannya. Kedekatannya selama satu bulan ini, meskipun dalam konteks pekerjaan, menunjukkan bahwa Anita adalah pribadi yang bisa dipercaya.

Terkadang, dalam hati Anthony sering berpikir, jika saja bertemu dengan Anita lebih dulu, pastilah dia justru akan jatuh cinta padanya, dan bukanlah pada Vera. Namun, takdir memang tidak bisa diatur, bukan? Jalan hidupnya sudah digariskan, dan semua yang dialaminya telah membuatnya menjadi dirinya yang sekarang. Pria dengan kesempurnaan yang sangat dia sadari, tapi kosong di dalam jiwanya. Yang selalu berusaha menjadi pribadi yang baik, tapi di sisi lain, memiliki sisi kejam karena kesukaannya menyakiti wanita-wanita yang menurutnya pantas disakiti. Dia pria dengan banyak topeng yang dikenakannya.

Di depan ruangan Anthony, Anita yang sedang melangkahkan kakinya yang panjang menuju ruang meeting, dikejutkan oleh bunyi ponselnya yang berdering. Seraya terus berjalan, dia pun meraih ponselnya dan menempelkannya ke telinga setelah menekan tombol terima.

"Halo? Hai." Suara Anita berubah riang. "Hari ini? What? Sudah dekat kantor? Oke ... kita ketemu di lobi, oke? Kangen kamu juga, muach!"

Tergesa-gesa Anita keluar dari lift, lalu menyeberangi lobi menuju keluar. Di depan pintu gedung dia menunggu sampai akhirnya sebuah taksi bertuliskan taksi bandara berhenti di depannya. Seorang pria muda yang sangat tampan, turun dari dalam taksi itu dan langsung memeluk Anita, dan dengan penuh kerinduan Anita membalasnya. Tepat di saat bersamaan, Anthony yang akan menghadiri meeting yang tadi diberitahukan Anita, melangkah keluar dari dalam lift dan melihat adegan itu. Sebuah rasa yang mengganggu menyelusup ke benaknya. Siapa pria muda itu? Kenapa Anita terlihat begitu akrab dengannya?

***************************

Suara musik yang mengentak membuat siapa pun yang ada dalam ruangan itu sontak bergoyang. Udara yang penuh dengan bau alkohol dan pencahayaan yang tidak terlalu terang karena lampu redup dan berkelip, ditambah dengan pendingin udara yang disetel maksimal, menciptakan suasana yang menghanyutkan. Membuat setiap tubuh yang asyik bergoyang, makin hanyut dalam suasana yang memabukkan itu.

Di sudut ruangan, seorang pria berparas adonis separuh Kaukasia, duduk bersama dengan seorang wanita cantik bertubuh bahenol, seorang model ternama, sedang menikmati keriuhan suasana. Tangan pria itu merangkul erat tubuh si wanita, dan terkadang menyusup nakal di dalam pakaian minim yang dikenakannya. Bukannya menepis tangan nakal si pria, wanita itu malah tertawa cekikikan setiap kali pria tampan itu melakukannya.

My Hand In YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang