Pertemuan

43.6K 4.3K 227
                                    

Samudra mengangkat kepala dan mendapati sosok yang sudah dirindukannya beberapa waktu ini. Dia terpana. Dengan gerakan kaku dia bangkit, lalu melangkah cepat dan memeluk Anita yang hanya berdiri tegak tanpa membalas pelukannya.

"Nita! Ya, Tuhan. Kenapa kamu enggak bilang sama Mas? Kenapa kamu hilang begitu saja? Mas sudah menyusul ke Semarang, tapi kamu sudah tidak di rumah Paklik kamu. Kamu di mana saja, hmm?" tanyanya.

Anita tersenyum tipis. "Aku dimana-mana, Mas. Menenangkan diri," sahutnya.

Samudra menatapnya, dan menyadari betapa kurusnya wanita ini sejak terakhir kali mereka bertemu lebih seminggu lalu. Membuat hatinya terasa teriris karena sedih. "Mas ikut berduka, Nita. Mas ... Mas tahu ini berat untuk kamu," ucapnya terbata.

Anita masih tersenyum tipis. "Thanks, Mas Sam. Mmmm ... sebetulnya aku mau bicara..."

"Oh, mau bicara apa?"

Anita termangu sejenak, sebelum menyodorkan sebuah amplop. "Mas, aku mengundurkan diri, ya. Ini surat pengunduran diriku. Kalau boleh ... aku minta surat pengalaman kerja hari ini, supaya kalau nanti aku butuh, aku bisa pakai."

Samudra membeku di tempatnya berdiri. "Mengundurkan diri?" ulangnya.

Anita mengangguk. "Ya."

Samudra mundur dan menjauh dari Anita, lalu duduk di kursinya, memijat pelan pangkal hidungnya karena pusing yang menyerang mendadak. "Kenapa kamu minta berhenti mendadak?" tanyanya.

Anita menatapnya dengan tatapan yang dikenal Samudra sebagai tatapan yang diberikan gadis itu tiap kali dia memiliki tekad. Tidak tergoyahkan. "Aku punya alasan, dan tidak bisa berbagi dengan Mas," jawabnya tenang, meski jauh dalam hatinya dia pasti merasa hancur.

Samudra menengadah, dan menatapnya. "Tidak bisa berbagi denganku? Nita ... kita sudah berbagi semua hal."

Anita menghela napas. Ekspresinya menunjukkan pergulatan batin, tapi suaranya yang tenang menunjukkan tekad. "Maaf..."

"Apakah ini karena ...Tante Risma?"

Sekuat apa pun keinginan Anita untuk tidak menangis, dia tetap seorang wanita yang masih sangat muda. Sebesar apa pun pengendalian dirinya, dia masih dalam tahap belajar mengekang perasaannya, dan saat nama Risma disebut, itu seolah membuka sebuah keran yang semula tersumbat. Matanya langsung terasa panas, dan bibirnya bergetar saat bicara.

"Jangan sebut nama mamaku untuk masalah ini..."

"Nita..."

"Kau dan aku ... kita sama-sama tidak pantas menyebut namanya saat ini!"

"Nita ... maaf." Samudra bangkit dan menarik Anita dalam pelukannya, tapi meski lemah, Anita meronta.

"Jangan, Mas. Jangan sentuh aku lagi," katanya dengan suara gemetar saat berhasil melepaskan diri

Hati Samudra hancur. "Jadi benar. Apakah karena Tante Risma meninggal kamu ingin..."

"Bukan!" Anita berteriak. Tangannya teracung dengan gemetar. "Bukan Mama yang jadi masalah di sini, tapi karena kita Mamaku meninggal!"

Samudra membelalak. "Apa maksudmu?"

Airmata kini mengalir deras di pipi Anita. "Mamaku mengetahui semuanya ... dia tahu aku mencintaimu dan itu menyakitkannya."

Samudra terpaku di tempatnya berdiri. Bisa dirasakannya hati gadis itu yang hancur. Pastilah berat sekali rasa bersalah yang ditanggung Anita, karena kematian Risma berhubungan dengan dirinya dan Samudra. Tapi ... siapa orang yang bisa mengatur pada siapa hatinya akan jatuh? Bahkan Tuhan pun tidak mencegahnya untuk jatuh cinta lagi pada gadis ini. Jika jatuh cinta salah, lantas kenapa cinta itu mesti ada?

My Hand In YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang