Keinginan Untuk Bicara

17.2K 2.2K 52
                                    

Lestari menolehkan kepalanya saat melihat wanita cantik yang anggun itu masuk ke dalam restoran favoritnya. Anita melangkah anggun mendekati mejanya, dan wajah cantiknya terlihat pias. Meski sedikit pucat, wanita cantik itu masih bisa tersenyum sopan saat sampai di meja Lestari.

"Siang, Ibu. Maaf sudah membuat Ibu menunggu," ucapnya lembut dan sopan.

Lestari mengembangkan senyum. "Duduklah, Anita," pintanya sambil mengangguk ke arah kursi di depannya. "Dan tidak perlu meminta maaf. Saya tahu kalau sayalah yang mengganggu waktu kamu. Apakah Adrian keberatan saya meminta kamu datang?"

Anita duduk dengan sungkan. Dia menggeleng mendengar pertanyaan itu. "Tidak. Hari ini Pak Adrian makan siang di luar dengan Pak Anthony, jadi tidak masalah kalau saya bertemu dengan Ibu." Dia diam sebentar. "Uhm ... apa ada masalah hingga Ibu perlu bicara dengan saya?"

Lestari menatapnya. Sebuah senyum lembut terkembang di bibirnya yang biasanya tertarik sinis seperti Adrian. "Ya. Sebuah hal yang sangat penting, setidaknya untuk saya. Tidak keberatan kalau saya menangguhkan dulu untuk pesan makanannya? Maksud saya, uhm ... sangat tidak enak kalau harus menahan apa yang ada di hati saya saat ini."

"Tidak apa, Ibu. Silakan Ibu langsung bicara kalau itu sangat penting."

Beberapa saat ada kecanggungan sampai Lestari meraih jemari Anita dan meremasnya. "Katakan Anita, apakah kamu mencintai anak saya, Anthony?" tanyanya tiba-tiba.

Anita terpana. Beberapa saat kehilangan kata-kata karena pertanyaan yang tak diduganya. Susah payah dia meneguk ludah, lalu terbata menjawab, "Saya...."

"Kamu tidak perlu takut untuk bicara. Tolong, jangan tutupi apa pun. Asal kamu tahu, saya punya banyak orang kepercayaan di perusahaan, dan mereka semua melaporkan hal yang sama pada saya. Mereka bilang kalau ada hubungan spesial antara kamu dengan putra saya. Semacam persahabatan seperti yang tersirat dari sikap kamu sejak dulu. Tapi saya tidak percaya, dan saya ingin tahu. Sebenarnya, hubungan macam apa yang kalian punya? Apakah kamu mengharapkan dia?"

Anita merasa lidahnya kelu. Tiba-tiba, tanpa bisa ditahan air mata meluncur turun di pipinya. Lestari terkejut melihat itu. Lembut wanita baya itu mengulurkan tangannya, dan menghapus air mata Anita dengan telunjuknya.

"Kenapa kamu menangis, Anita?" tanyanya heran.

Anita menatap Lestari sedih. "Apakah Ibu akan meminta saya meninggalkannya?" Dia balik bertanya.

Mata Lestari membesar. "Kenapa kamu berpikir begitu?" tanyanya lagi. Kali ini dengan paras bingung.

Anita menghapus air matanya sendiri. "Karena saya tidak sepadan dengan Pak Anthony?"

Lestari terdiam selama beberapa saat, lalu sebuah senyum terbit lagi di bibirnya. "Astaga! Dari mana pemikiran itu muncul? Sepertinya kamu menonton terlalu banyak sinetron, Anita. Kalian berdua adalah pasangan paling cocok yang pernah saya lihat. Oh, ayolah. Jangan membuat saya terlihat seperti pemeran antagonis di sinetron yang suka melotot tidak jelas itu," katanya dengan hangat.

Anita mengerjap cepat. Benarkah yang sedang didengarnya? Ibunda Anthony sedang mengatakan kalau dia dan putranya adalah pasangan yang cocok? Bagaimana mungkin?

"Singkirkan pikiran aneh bahwa saya tidak akan merestui kalian. Oke? Sekarang katakan pada saya, apakah putrimu adalah putrinya Anthony?"

Anita membelalak. Wajahnya yang terlihat sangat kaget membuat Lestari langsung tersenyum penuh kemenangan.

"Bagaimana Ibu bisa...."

"Astaga, Anita. Kamu pastinya tidak sepolos itu, kan? Memangnya kamu pikir saya orang tua jompo yang tidak bisa berpikir cerdas? Yang bisanya hanya ikut-ikut arisan sosialita? Saya salah satu pemegang saham di Smith Goldwig, lho. Tidak mungkin saya bisa menjadi seperti sekarang kalau tidak mempunyai jaringan yang kuat. Jadi, tolong katakan, putrimu ... apakah dia putrinya Anthony juga?"

My Hand In YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang