Laras dan Sang Paman

30.4K 3.8K 110
                                    

Anita memperhatikan gadis mungil berambut kriwil yang sulit untuk rapi itu dengan perasaan geli. Ekspresi seriusnya memang mampu mengundang senyum karena justru terlihat lucu.

"Minum dulu." Anita berkata sambil tersenyum. "Supaya mulut kamu enggak kering pas wawancara nanti." Dia memang membawakan sendiri air minum dingin untuk gadis bernama Laras ini karena suka melihatnya.

Laras tersenyum lebar. Senyumnya hangat dan terlihat tulus. "Makasih, Mbak," ujarnya sambil menerima gelas berisi air dan langsung meminumnya.

Anita tertawa kecil melihat gerakan tangan gadis itu saat menghapus air dari pinggiran bibirnya. Mirip anak kecil.

"Pagi banget kamu datang?" Dia bertanya ingin tahu sambil duduk di depan Laras.

Gadis itu menyengir. "Iya. Laras takut telat, jadi mendingan kecepetan, kan?" jawabnya. Caranya menyebut nama saat bicara membuat Anita tertarik.

"Ya. Datang lebih cepat memang jauh lebih baik. Berhubung belum ada orang HRD yang datang. Kamu enggak keberatan kan kalau Mbak tanya-tanya dulu?" Hari memang masih pagi, dan belum banyak orang yang datang, jadi sepertinya Anita masih punya sedikit waktu untuk berbincang

Laras mengangguk cepat. "Boleh. Mbak mau tanya apa?"

Anita menatapnya sebentar. "Kamu selalu menyebut nama sendiri setiap kali bicara dengan orang lain?"

Laras menggeleng cepat. Rambut kriwilnya bergoyang-goyang. "Enggak sih. Laras cuma nyebut nama kalau bicara sama yang lebih tua dari Laras," sahutnya.

"Gitu? Mmhhh ... kamu baru lulus banget, ya?"

"Iya. Baru minggu kemarin Laras ambil ijazah."

"Oh. Terus ... kenapa kamu enggak kuliah dulu? Bukannya kamu bisa dapat pekerjaan yang lebih baik kalau kuliah dulu?"

Laras tampak mengerucutkan mulutnya. "Laras enggak punya uang, Mbak. Papa Laras pegawai negeri yang bagian kering gitu, gajinya enggak cukup kalo buat Laras kuliah. Buat sekolah adek-adek Laras aja enggak cukup, apalagi buat Laras kuliah," jelasnya. Wajahnya bergerak-gerak lucu saat bicara, membuat Anita merasa gemas.

"Tapi ada rencana meneruskan kuliah nantinya?" tanya Anita lagi.

Laras mengangkat bahu. "Enggak tahu. Soalnya satu-satunya jurusan yang Laras kepingin enggak akan bisa dijalanin sambil kerja. Soalnya habis itu harus ambil spesialisasi juga."

"Memangnya jurusan apa?"

"Kedokteran, terus forensik."

Anita membesarkan matanya, wajahnya menunjukkan paras heran sekaligus takjub. "Forensik? Wah ... kamu enggak takut sama mayat? Kan urusan kamu nanti kebanyakan mayat, lho...."

Laras menyengir. "Hehehe ... enggak juga kali, Mbak. Kadang urusannya sama yang masih hidup juga, kok. Misalnya, untuk visum korban kejahatan, korban perkosaan, dan sebagainya. Kalo pun urusannya mayat, memangnya kenapa? Enggak usah takut, kan mereka udah mati, enggak bisa ngapa-ngapain."

Anita tertawa kecil. "Betul juga sih," ujarnya setuju.

"Mbak..." Laras menatap Anita dengan iris mata yang kelihatan semakin pekat, membuat Anita entah kenapa merasa tersesat. Ya ampun, gadis kecil ini adorable sekali, mirip seekor anak anjing lucu.

"Ya? Kenapa?"

"Mbak kok cantik banget? Mama papanya pasti cakep ya?" Laras berkata dengan polos, sekaligus tulus. "Mana kakinya Mbak panjang banget, pasti kalo pake apa pun tetep kelihatan keren. Pake karung goni pun pasti tetep aja kelihatan modis. Tingginya turunan atau karena Mbak banyak konsumsi kalsium, Mbak?"

My Hand In YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang