Tugas Yang Berat - Seleksi Sekretaris

33.7K 3.6K 128
                                    

Pria baya bernama Herman, seorang pengusaha veteran yang merupakan sahabat almarhum ayahnya di masa lalu, duduk dengan wajah pasrah di hadapan Anthony. Tampak jelas kalau Herman sudah berniat menyerahkan nasibnya di tangan Anthony tanpa perlawanan.

"Kenapa harus sampai selama ini, Om?" Anthony bertanya dengan nada kecewa. Pertanyaannya itu merujuk pada keroposnya sistem manajemen PT Angkasa yang dipimpin Herman. Perusahaan itu memang didirikan oleh Herman tetapi sahamnya kini sebagian besar dimilik Perkasa Ekatama.

Dengan cerobohnya, Herman membiarkan putranya memoroti keuangan perusahaan yang berarti mencari masalah dengan Perkasa Ekatama. Itu adalah sebuah kesalahan yang sangat besar, tapi tetap Anthony merasa iba menyadari kalau dia akan melakukan eksekusi terhadap aset pria tua yang baik itu.

Herman mengangkat bahu. "Akan sampai saatnya kamu mengerti kenapa Om tidak sanggup bersikap tegas, Thony. Om harus memilih, tegas tapi kehilangan putra Om, atau membiarkan segala sesuatunya, meski resikonya adalah kehilangan segalanya," jawabnya. Penuh ironi.

Anthony tersenyum miris. "Om tahu kalau saya bawa semua berkas ini pada Kak Adrian, berarti Om harus bersedia kehilangan Angkasa kan?"

Herman mengangguk. "Ya."

"Dan Om juga harus membayar kerugian para pemegang saham."

"Om mengerti, tapi mungkin untuk itu Om hanya bisa berharap penangguhan. Om akan menjual semua aset pribadi untuk menutupi seluruh kerugian, meski Om rasa ... aset pribadi Om tidak akan cukup."

"Lalu Om akan tinggal di mana? Akan melakukan apa untuk menutupi semua kekurangannya?"

Herman menggeleng sedih. "Om juga tidak tahu, Thony," jawabnya jujur.

Anthony menghela napas. "Kenapa harus menunggu selama ini, dan tidak melaporkannya pada saya, Om?" sesalnya lagi. "Harusnya saya bisa bantu kalau belum seterlambat ini."

Herman hanya bisa mengedikkan bahu sedih.

Anthony menggeleng-geleng. "Saya terpaksa harus melimpahkan semua pada Kak Adrian. Om mengerti, kan?"

Herman mengangguk. "Om mengerti. Om hanya akan menunggu keputusan pusat, dan kalau memang Om harus menyerahkan segalanya, maka Om akan lakukan. Thony, kamu tidak perlu merasa tidak enak. Om yang sudah kecolongan ... kamu tidak perlu pusing. okay?"

Anthony menatapnya. Tidak perlu pusing? Yang benar saja! Herman adalah orang yang sangat dia hormati dan kagumi. Berat melihatnya berada dalam titik nadir seperti saat ini.

Sambil menghela napas berat kembali, Anthony berdiri lalu meremas bahu Herman. "Maaf," lirihnya sebelum meninggalkan Herman yang hanya bisa mengangguk sambil tersenyum sedih.

Baru beberapa langkah meninggalkan rumah Herman, ponsel Anthony berbunyi dan dia langsung mengeluh melihat siapa yang menelepon. segan, ditekannya tombol terima.

"Ya, Mi?"

*****************

Anthony mengetukkan jemarinya di meja, sementara di hadapannya, ibunya memberikan tatapan penuh desakan. Bukan permohonan.

"Mami tidak perlu sampai datang ke sini karena apa pun yang Mami katakan tidak akan mengubah keadaan."

Nyonya Lestari mengangkat dagunya. "Mami hanya peduli pada sahabat lama, dan Mami tidak peduli argumenmu. Kamu harus melakukan sesuatu."

"Om Herman sudah lalai, Mi. Aku tidak tahu bagaimana cara membelanya di depan Kak Adrian." Anthony berkata lelah.

Lestari menatap putra keduanya itu lama. Satu-satunya anaknya yang lahir dalam cinta, tapi juga yang paling mengecewakannya karena orientasi seksualnya yang menyimpang. Sangat memalukan, terutama saat keluarga besar Lestari yang ningrat mengetahui tentang kelainan Anthony itu. Selama ini Lestari berusaha menutup mata, tapi omongan kerabatnya tidak bisa diabaikannya begitu saja.

My Hand In YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang