Tekad Untuk Memulai

46.9K 4.2K 96
                                    

Embun belum sepenuhnya menghilang saat jasad Risma disemayamkan di sebelah makan suaminya di Semarang. Dari tempatnya berdiri, Aiden menatap punggung Anita yang berjongkok dengan punggung membungkuk di sisi makam ibundanya.

Kilasan dejavu seolah menyentak Aiden pada kesadaran akan kenyataan yang selalu dihindarinya dengan bersembunyi jauh di dalam dunianya yang sepi. Trauma dan rasa bersalah yang didapatnya empat tahun lalu memang memaksa Aiden untuk menarik diri, tapi kini kakaknya mengalami hal yang sama dengannya. Dia sadar, dia harus berhenti bersembunyi karena kakaknya membutuhkannya.

Perlahan dia mendekat pada Anita, lalu memegang bahunya. "Mbak Nita ... kalau mau menangis, ya menangis saja," katanya dengan suara lembut.

Punggung Anita menegak. Perlahan dia memutar tubuhnya dan menghadap pada adiknya yang masih remaja itu, dan mendapati tatapan menghibur di mata Aiden. Anita pun luluh dan memeluknya.

"Maafin Mbak, Aiden. Mama pergi karena Mbak Nita," katanya dan mulai terisak.

Aiden mengusap punggung kakaknya. "Sssshhhhh ... Mbak Nita jangan ngomong begitu. Mama kan sudah istirahat dengan tenang sekarang," hiburnya.

Tanpa setahu Anita, dia bisa merasakan perasaan hancur yang sama. Karena dirinyalah penyebab ayah mereka meninggal empat tahun lalu. Dia dan Anita adalah penyebab kematian orangtua mereka. Adakah pengampunan tersedia bagi keduanya?

***********
"Kamu baru pulang?" Samudra bertanya.

Dewi hanya melirik sekilas. "Ibuku di rumah sakit, aku tadi menjenguknya," jawabnya sambil membersihkan lipstik di bibirnya. "Kamu mau pergi?"

Samudra berdiri di tengah ruang kamar. Ekspresi wajahnya dingin. "Menjenguk keluarga Anita. Apa kabar ibumu? Kondisinya sudah membaik?"

"Lumayan. Dokter hanya menyarankannya untuk istirahat."

"Baguslah. Aku tidak perlu menjenguknya, kan?"

"Tidak usah. Mungkin besok Ibu sudah pulang."

"Baiklah." Sambil berkata begitu, Samudra melangkah keluar.

Dewi yang ditinggalkan, menghela napas letih, lalu meletakkan kapas pembersih di wadahnya. Dia menatap bayangannya di cermin, dan perlahan menyentuh dadanya. Tempat dimana sebuah rasa sakit tiba-tiba muncul. Hatinya. Dia menggigit bibir, melawan keinginan untuk terisak, dan dengan gerakan cepat meraih selembar tisu dan menghapus bulir airmata yang mendadak meluncur di pipinya.

Dewi tahu, seharusnya dia menyalahkan Samudra jika pria itu lebih memilih untuk menemui keluarga Anita di setiap akhir pekan dibanding bersamanya atau menjenguk ibundanya. Dia tahu persis hubungan macam apa yang ada antara suaminya dengan sekretarisnya itu. Namun, untuk satu alasan yang hanya dia yang tahu, dia menutup mata untuk itu.

Bukan berarti dia tidak terluka, karena seolah hatinya ditusuk berulang kali oleh pisau tajam, dan sebelum lukanya sembuh, pisau itu akan menusuk lagi ... dan lagi.

Namun, ada saat di mana bahkan seorang istri merasa tidak berhak untuk menegur kesalahan suaminya, terutama bila dia sendiri merasa memiliki dosa yang sangat besar. Membuatnya merasa tak layak disebut sebagai seorang istri.

*********

Samudra tertegun saat melihat rumah mungil yang kosong itu. Benaknya langsung galau. Ke mana keluarga Anita? Apakah mereka sedang tidak di rumah? Saat dia terus mengetuk pintu, mencoba menarik perhatian orang yang mungkin ada di dalam, dari rumah sebelah seorang wanita tua keluar dan memanggilnya.

"Orangnya tidak ada, Jang." Wanita itu memberitahu.

Samudra mengerutkan kening. "Oh ... Ibu tahu mereka ke mana?"

My Hand In YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang