Papan nama

1.3K 100 118
                                    

Papan nama selebar buku tulis bertuliskan "life buoy" dengan pita warna merah. Turut berkalung di leher Aditya. Pitanya bukan sembarang pita rupanya. Karena menurut petunjuk yang ada pada buku panduan, pita tersebut haruslah berwarna merah.

Maklum saja. Meskipun kota itu terbilang kecil, tetapi dapat membuat kepala Aditya pening. Apalagi Vijay yang notabene baru beberapa hari di Bone. Cukup lama Aditya dan Vijay mengitari kota demi mencari pita warna merah itu, tadi malam. Anehnya pita tersebut hanya ada di toko tempat menjahitkan baju. Tentu saja Aditya dan Vijay tak menemukannya, karena mereka fokus mencari di pasar malam. Untungnya, sepatu hitam masih sempat dibeli Aditya di penjual kaki lima. Tak kisah lagi dengan merek, yang penting murah dan warnanya sesuai permintaan.

Selesai membeli pita, Aditya dan Vijay melanjutkan penjajakan mencari tukang cukur. Untung masih ada tukang cukur yang buka. Padahal sudah jam sembilan malam. Selesai mencukur, bergantian mereka menertawakan satu dengan yang lainnya. Aditya maupun Vijay, merasa lucu dengan penampilan kepalanya yang tadinya berambut lebat, kini tak tersisa walau sehelai.

* * *

Life boy atau nama cantik, pemberian senior tingkat dua kepada Aditya, kemarin. Life boy adalah alat penyelamat di kapal. Berbentuk seperti ban dan memiliki tali pengikat. Biasanya disimpan pada bagian dek terbuka di kapal. Apabila ada orang yang jatuh ke laut, maka life boy itulah yang dilemparkannya. Agar orang jatuh itu dapat bertahan di air.

Bukan hanya Aditya, yang mendapat nama cantik, melainkan setiap catar. Dan, semuanya berhubungan dengan alat-alat keselamatan di kapal. Tujuannya agar catar-catar itu dapat mengenal peralatan-peralatan keselamatan yang ada di kapal.

Kalau papa nama Aditya bertuliskan life boy. Berbeda halnya dengan Dafah, di papan namanya bertuliskan "life raft". Alat penyelamat itu berbentuk kapsul. Yang biasa berjejer di tempat terbuka di kapal. Jika kapsul terbuka, akan keluar perahu karet yang mengembang otomatis. Life raft biasaya di gunakan untuk menyelamatkan kru kapal, apabila terjadi kecelakaan. Alat penyelamat itu bisa menampung 15 orang sekaligus. Bahkan, ada juga lebih besar yang bisa menampung 25 orang.

Sedangkan di ujung barisan bagian kanan depan. Vijay berdiri kaku dengan papan nama bertuliskan "life jaket". Namanya jaket, bentuknya pun sama seperti jaket. Namun, jaket itu dapat mengapung dan menahan bobot manusia di air. Apabila terjadi kecelakaan di kapal, setiap orang di atas kapal, baik kru maupun penumpang wajib mengenakan life jaket. Dengan tujuan untuk menyelamatkannya apabila kapal tenggelam, ia tidak ikut tenggelam.

* * *

"Bagus!" kata senior tingkat dua. "Nah, kayak gini baru kelihatan keren. Masa pakai celana bahan hitam pake sepatu warna putih," lanjutnya lalu sedikit tersenyum.

Aditya hanya tersenyum patuh. Tak berani ia menjawab. Selain Aditya, catar yang lain pun tampak turut dalam cengkeraman senior. Terlihat energi visual terpancar dari para pelatih dan senior, yang berkeliaran di lapangan. Siapa pun yang menjadi senior dan pelatih, tak peduli ia bertubuh kecil atau pun besar. Semuanya mendapatkan posisi yang sama di hati junior. Kehadirannya dapat mematikan nyali setiap catar yang berkepala gundul licin itu.

Kepala gundul licin, kepanasan, seakan hendak meletus terbakar. Peluh dan keringat bercucuran. "Satu!!! Dua!!! Tiga!!! ...." Teriakan itu yang terdengar oleh Aditya. Posisinya sedang push up di depan para senior yang memberikan pelatihan. Papan namanya ikut merayap di dasar bumi. Hari pertama itu, saat pengambilan perlengkapan madar bintal (masa pembasisan) benar-benar menguras tenaga.

Begitulah senior dan para pelatih itu membina catar-catari baru. Iya, pelatihan di dunia maritim, memang tidaklah mudah–menurut Aditya. Setiap ada kesalahan pasti akan mendapat hukum sesuai ganjaran. Sedikit-sedikit push up, sedikit-sedikit push up. Mandi, makan, minum, semuanya diatur oleh senior.

Baru kali ini Aditya merasakan susahnya hidup. Susahnya untuk mencapai perubahan. Namun, ia tetap yakin bahwa kesuksesan itu selalu diawali dengan tantangan. 

* * *

Tengah malam, hanya ada suara dengkuran catar yang lain. Namun, Aditya tetap membuka mata walau tak ada yang terlihat. Gelap, tak ada selarik cahaya yang menembus ruang. Ia lagi-lagi memikirkan, apa yang melandanya saat ini. Namun, tetap ada keyakinan bahwa ia akan berhasil melewati tantangan itu

Masih subuh buta, Aditya dibangunkan oleh para senior. Terbirit-birit semuanya. Dafah yang tidur di samping Aditya sedikit tersenyum sebelum bangkit dari duduknya. Aditya pun membalas singkat. Senyum mereka bukanlah senyum hangat, melainkan senyum pilu. Keakraban di antara keduanya mulai terjalin. Dafah sedikit prihatin menyaksikan temannya yang bertubuh kecil-mungil itu. Jika diteliti dari inci demi inci, Aditya tak layak dengan umurnya yang sekarang. Bahkan ia tampak lebih mudah dari Dafah. Yang jelas-jelas umur mereka selisih tiga tahun.

* * *

Hari demi hari berganti dengan berat. Terasa seperti sebulan seharinya. Namun karena keteguhan hati. Bahwa pasti bisa. Apa pun itu. Susah atau senang sekalipun jika dijalani dengan sabar, semuanya akan berbuah manis. Meskipun pembasisan penuh tantangan. Akan tetapi, Aditya dan bahkan tak satu pun catar yang menyerah. Semuanya bisa sampai di hari ketujuh dari seminggu itu. Pelatihan tersebut justru memberi pelajaran berharga. Semuanya terlihat lega. Makan sore di hari terakhir ini, sudah tidak lagi menggunakan komando.

Aditya dan teman-temannya bebas tersenyum. Sehabis makan, tak ada lagi kegiatan pelatihan. Catar dan taruna tingkat dua hanya mengumpulkan kayu kering di sekeliling kelas.

* * *

Tepat jam delapan malam, upacara penutupan pembasisan pun dimulai. Pak Dimas berdiri di tegah-tengah lapangan sebagai pembina upacara. Sedangkan Aditya berdiri di belakang Pak Dimas sebagai ajudan. Di tangan kanan Aditya terdapat obor yang siap dibakar.

Selesai Pak Dimas berpidato. Pembaca susunan acara pun mengisyaratkan untuk membakar kayunya. Aditya melangkah ke depan dan memberikan obor itu kepada Pak Dimas. Aditya kemudian mundur seperempat langkah lantas mengeluarkan korek gas dari dalam saku celananya. Dengan sekali anggukan dari Pak Dimas. Aditya menyalakan korek itu. Obor pun menyala dan menyebarkan seberkas cahaya. Dengan cekatan Aditya melakukan semua itu. Padahal ia hanya dilatih oleh senior beberapa saat sebelum upacara dimulai.

Pak Dimas Pun membakar kayunya. Dan, api unggun itu meluap, menghasilkan cahaya kemerahan. Seusai upacara, dilanjutkan dengan melepaskan kelelahan. Melingkari api yang menyala-nyala. Tangan bertautan dan berkeliling sambil bersorak dengan nyanyian-nyanyian riang taruna.

Lagu-lagu itu telah melekat di kepala masing-masing. Berganti dan berganti judul tanpa henti, terlihat tak satu pun catar yang tak hafal. Begitu cepat nyanyian taruna itu melekat di kepala mereka. Padahal hanya seminggu mereka menjalani pembasisan.

Semuanya berbaur satu sama yang lain, seakan tidak ada lagi senior dan junior. Akan tetapi, sebagai junior, Aditya tetap patuh dan tunduk sama senior. Ternyata kerasnya mereka, semata untuk mendidik kami, kata Aditya dalam hati sambil tersenyum.

Aditya kagum dengan para senior dan pelatih itu. Mereka telah membina dan mengajarkannya nilai dan arti kehidupan. Yang seharusnya ia mengerti sejak dulu lagi.

The Story of SailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang