Waktu memburu dengan begitu cepatnya. Dua tahun silam, Aditya membayangkan betapa senangnya berada di atas kapal dengan pakaian menarik. Bisa membantu penumpang. Seperti yang ia lihat dulu saat pulang dari Malaysia. Dan, hari ini impian itu hampir jadi nyata.
Hari ini, Aditya dan teman-temannya dilantik sebagai taruna tingkat tiga yang akan melanjutkan tugasnya di laut. Meskipun tidak begitu mewah acara pelepasan itu, tetapi itulah yang dapat mereka berikan sebelum memulai perjuangan di kapal nanti.
Prala (praktik kerja laut) sebuah program wajib yang ada di sekolah pelayaran itu dengan tujuan untuk memperdalam ilmu pelaut yang pernah taruna-taruni pelajari di sekolah. Karena prala-lah yang akan menentukan: apakah mereka layak menjadi pelaut atau tidak?
* * *
Untuk mendapatkan tempat di perusahaan perkapalan pun sungguh membutuhkan perjuangan; memburu alamat perusahaan, menelpon kiri dan kanan, browsing internet ke sana kemari. Lelah. Respon dari perusahaan tak kunjung datang. Begitulah yang melanda Aditya saat ini.
"Senior! Terima kasih atas semuanya, aku sama sekali tidak menjadikan kesukaran ini sebagai beban," ucap Aditya ditengah lelahnya. Hari ini, tak tersisa perusahaan perkapalan di Pare Pare ia datangi, tetapi tak satu pun yang memberi respon positif. "Ke mana lagi?" Ia lalu bertanya kebingungan pada dirinya sendiri. Penuh resah ia duduk di atas bolder–perangkat pada pinggiran pelabuhan untuk mengaitkan tali kapal–sambil menyaksikan gulungan ombak ke dermaga. Berberai, ketika pecah menghantam tembok. Kepalanya ia topang dengan tangan kanan sekaligus menggenggam kuat rambutnya. Sebentar kemudian, ia membuka rangselnya. Telepon jadul tanpa cesing itu telah redup dari daya energi.
Maafkan aku Vina, jangankan teringat dirimu, makan pun aku lupa, apakah aku pernah makan seharian tadi. Aditya lalu tersenyum membayangkan senyum manis gadis mungil itu.
Aditya kembali bersemangat, ia tetap berjalan meski harus pulang dengan tangan kosong.
* * *
"Panggilan 10 kali tak terjawab dari Vina. Dan 3 pesan yang belum dibaca". Itulah yang dipaparkan oleh layar telepon itu saat mendapat asupan energi listrik.
Buru-buru ia membuka SMS itu.
From: Vina 91:15 AM
"Kak! Apa kabar?"
From: Vina 12:30 PM
"Kakak di mana?"
From: Vina 4:00 PM
"Kak, di mana? Belum lagi kau berlayar, tapi sudah tidak punya waktu untukku."
Tak membuang waktu lagi, Aditya langsung memencet tombol panggil dan memosisikan telepon itu ke dekat telinganya.
"Dek, maafkan aku." Aditya menerobos setelah panggilan itu tersambung.
"Emang tadi dari mana? Kok tidak dibalas sms-ku?" ketus Vina di ujung telepon.
"Maafkan aku Vina...! Tadi HP-ku mati, sampai di rumah baru aku lihat."
"Iya, tapi baru begitu kau sudah bisa lupa, bagaimana jika kau sudah di kapal? Apa kau masih bisa ingat sama aku?"
"Tidak seperti itu juga sayangku, kan HP-nya lowbet." Aditya bertutur manja, ia lantas tertawa manis. "Maafkan aku, ya!"
"Iya, tapi jangan selalu buat aku seperti tadi!"
"Iya sayangku." Aditya tersenyum hangat. "Sudah makan?"
"Sudah. Kakak?"
"Belum, aku baru sampai," balas Aditya sambil membuka kancing bajunya. "Sayang (ciuman lewat telepon) dulu, dong!"
"Ah, malas! Tadi Kakak bikin aku kesal."
"Yah, sudah kalau gitu. Entar lagi aku telepon, ya! Aku mandi dulu."
"Iya. Jangan sampai lupa lagi."
"Iya, Sayangku!"
Rasalelah jadi hilang seketika dan berganti dengan ketenangan. Hari ini, Adityamemang belum mendapatkan perusahaan untuknya mengabdikan diri, tetapi semangatyang ia miliki tetap membaja. Begitu kuat peran Vina dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story of Sailor
General FictionSebagian cerita hanya bisa dibaca oleh pengikut saya. Jadi kalau mau baca cerita secara keseluruhan jangan lupa untuk meng-follow saya terlebih dahulu. Dari kecil, Aditya tidak pernah puas akan pendidikannya. Semangat untuk bersekolah selalu dipata...