Junior yang ramah serta hormat, membuat Aditya teringat akan dirinya dua tahun lalu. Waktu itu bak kurcaci. Aditya yakin, apa yang ada di dalam hati junior tingkat satu saat ini, sama dengan apa yang telah ia rasakan tahun-tahun lalu.
"Selamat, siang senior?" kat junior-junior itu dengan posisi tangan menghormat.
"Selamat siang," jawab Aditya, sambil berlalu. Menjadi senior. Siapapun jika telah menjadi senior di sekolah pelayaran, pasti akan merasakan hal yang sama. Dihormati, disegani, ditakuti, baik di dalam maupun di luar kampus.
Semua itu karena pembasisan yang luar biasa.
Hari ini adalah hari pertama Aditya dan teman-temannya kembali apel siang. Ada beberapa taruna yang tidak pulang. Mereka tinggal di kapal untuk mencari uang. Hai seperti itu tidak jadi masalah di sekolah itu. Mereka yang tidak mengikuti ujian akhir nasional nanti, akan diberi kesempatan tahun depan.
Taruna-taruni yang kembali dari prala, berjumlah: 22 taruna dan 3 taruni. Ya untuk hari ini. Besok akan berkurang lagi jika taruna dan taruni yang bersedia mengikuti ujian kepelautan dan mendapatkan ijazah ANT IV, akan dipindahkan ke Sekolah yang telah lulus audit, di Makassar.
Iya, sekolah ini belum di Audit, lantaran masih dalam tahap pembangunan. Dan, kemungkinan besar akan selesai di akhir tahun depan.
Sambil mengikuti kegiatan di siang itu, pandangan Aditya kembali tertuju ke sederet instruktur yang berbaris di bagian kanan depan.
Lalu, diulangi. Satu persatu dipindai dengan teliti. Akan tetapi, seakan ada yang kurang, menurutnya.
Ia kemudian teringat dengan Pak Bandi, Instruktur pramuka itu, Ya, dia. Ke mana beliau? tanya Aditya dalam hati. Instruktur pramuka yang teramat aku benci dahulu, mengapa beliau tidak ada; ke mana dia?
Namun, pertanyaan itu tidak terlalu dihiraukan. Pikirnya kemudian: barangkali, pak Bandi belum hadir, atau mungkin hari ini ada urusan.
****
"Hai, hei Bro." Riang penuh semangat menyambut Aditya. Bersalaman. Tidak ada pelukan. Itu bukan cari khas pelayaran. Riang belum sempat bertemu Aditya sebelum apel tadi. "Bagaimana pelayaran kemarin, Dit?"
"Biasa saja, sih," jawab Aditya, "bagaimana dengan kamu?"
"Ya, sama juga. Tidak da yang spesial."
Tawa, canda, semuanya tercurahkan. Semuanya berbagi pengalaman, tanpa ada yang terlewatkan. Senda gurau tidak lagi ditahan-tahan. Sampai-sampai mereka mendapat teguran dari pak Dimas, atas keributan yang mereka ciptakan.
Bagaimana tidak, semuanya menceritakan tabiat-tabiat teman sekapalnya. Hingga tidak disadarinya, bel istirahat telah berdering. Dan, semuanya bersiap-siap ke kantin.
"Tunggu sebentar!" seru Aditya mengalihkan perhatian teman-temanya.
Taruna-taruni itu yang tadinya telah berdiri kembali terduduk di kursi masing-masing. Dafah yang terlanjur berjalan, memilih berdiri sambil berpegangan di sandaran kursi milik Aditya. "Ada yang lihat guru Pramuka kita?"
"Kan udah keluar," jawab Bima, "pak Bandi udah cabut dari sekolah, sekitar tiga bulan lalu!" lanjutnya sedikit memicingkan matanya ke Aditya.
Pernyataan Bima membuat penasaran seluruhnya, antara percaya dan tidak.
"Yang benar saja, Bim?" tanya Aditya kemudian. Rasa tidak percaya begitu besar di kepalanya.
"Benarlah! Masa, aku harus bohong, Dit?" Bima lantas tertawa melihat ekspresi Aditya. Tatapan itu memutar dan menyaksikan ketidakpercayaan yang lain. "Santai saja kali! Bukannya kita juga yang mengusirnya, dulu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story of Sailor
Ficción GeneralSebagian cerita hanya bisa dibaca oleh pengikut saya. Jadi kalau mau baca cerita secara keseluruhan jangan lupa untuk meng-follow saya terlebih dahulu. Dari kecil, Aditya tidak pernah puas akan pendidikannya. Semangat untuk bersekolah selalu dipata...