Monas

421 26 37
                                    

Hari ini, tepat hari ke 30 Aditya tinggal bareng Imang. Iya, hari ini dia sendiri. Kesepian, apa lagi. Yang ia tahu hanya tidur dan tidur saja. Untung-untung kalau Imang sempat beli sarapan untuknya. Kalau tidak, ia harus keluar kamar untuk mencarinya sendiri. Yah, emang benar, semenjak Aditya tinggal di Jakarta, ia jadi pemalas, bahkan kadang juga ia merasa tidak ingin kena sinar matahari. Aneh bukan? ....

Dan ... hari ini Aditya mulai bosan dengan semuanya, bosan menunggu keputusan dari agen Jakarta itu. Sesekali ia juga menelepon Ibu Helena di Makassar. Namun belum juga ada kepastian. Kadang juga dia berpikir akan menerima ajakan Imang untuk kerja di perusahaannya, yang katanya perusahaan itu menjanjikan, tetapi Aditya tetap tidak percaya diri kalau ia harus bekerja di tempat yang bertolak belakang dengan background-nya.

* * *

Pagi-pagi sekali Imang telah berangkat ke tempat kerjanya. Ia kerja di salah satu perusahaan Asuransi yang ternama di Indonesia.   

"Sudahlah, ayo kita main ke kantorku saja, siapa tau kau berminat jadi agen Asuransi. Siapa tau kau bisa dapat pengetahuan baru," Ia teringat ajakan Imang saat mereka makan bareng di kamar itu kemarin malam.

"Ia, Mang, nanti aja. Aku harus buktikan dulu ke semua orang kalau aku akan jadi pelaut yang bertaraf internasional," jawab Aditya dengan nada yang ditekan sedikit lebih kecil.

"Terus gimana kata Agen lu? Ada kabar dari dia?"

"Belum juga, Mang." Suara Aditya terdengar lemas.

"Lah, kalau gitu lu balik aja ngambil duitnya! Sayang tuh, duit sebanyak itu luh serahin ke Agen yang tidak bener. Mending uang itu lu pake usaha," kata imang, "atau paling tidak lu investasi ke perusahaan Asuransi agar dapat hasil. Lagian hari gini masih ngandalin calo. Lu, lahirnya tahun kapan sih? Sampai-sampai ketipu agen begituan?" Imang tertawa kecil sekaligus kesal; seakan ia mengejek sepupunya.

"Iya juga sih, Mang! Harusnya aku tidak terlalu percaya sama Agen itu," kata Aditya menyesal. "Kalau tau jadinya bakal seperti ini, enggak bakalan juga aku percaya, Mang! Satu lagi, uang itu, bukan uangku ...." lanjutnya membeberkan semua.

"Wah, parah lu, " kata Imang prihatin. "Terus kapan batas perjanjian lu dengan Agen itu berakhir?"  Imang tau tentang surat perjanjian Aditya dengan Ibu Helena, lantaran Aditya pernah menceritakannya waktu lalu.

"Akhir bulan ini," jawab Aditya.

"O..., ya sudah sabar saja, semoga  uang itu bisa balik, sesuai dengan perjanjian."

Dan ... penyesalan dan rasa takut telah menghantui pikiran Aditya. Yang ada di dalam otaknya mengapa ia harus sebodoh itu, mengambil langkah yang tidak pasti. Di samping itu teringat pula ia dengan Ardi yang sebentar lagi akan membutuhkan pembayaran sekolahnya. Tentu ia akan membutuhkan uangnya.

Kali ini ia benar-benar tidak tua hendak bagaimana lagi, ia merasa tidak bisa berbuat banyak. Yang ia tahu hanyalah pasrah; apa pun risiko, ke depannya ia hanya bersiap-siap dengan jawaban dari langkah yang ia tempuh. Ia bagai anak sekolahan yang telah melaksanakan ujian akhir, lulus atau tidaknya semuanya diserahkan kepada pihak guru. Begitulah perasaannya kalut dan tak bergairah.

* * *

Ia kembali sendirian, tentunya Imang telah berangkat kerja dari tadi pagi. Aditya masih saja tertidur pules, padahal sinar matahari yang masuk di cela jendela itu, bukan lagi sinar pagi, melainkan sinar itu telah panas menandakan kalau hampir tengah hari. Jam dinding pun yang ditempel tepat di atas meja kerja itu, jarum pendeknya telah menunjuk jam 11 kurang 15 menit. Kelihatan sekali, anak muda yang masih tidur jam sekian, ialah anak muda yang pemalas.

The Story of SailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang