Perahu Botol

362 27 27
                                    

Pagi-pagi sekali Aditya tengah mengurus peternakannnya. Ia kemudian menyediakan jerami beberapa karung di depan kandang. Agar ibunya tidak usah naik-turun rumah-rumah tempat penyimpanan jerami itu.

* * *

"Mangngujuna pale lokka Bone di, Mak (aku berangkat ke Bone ya, Mah)!" kata Aditya sambil menyalami ibunya.

"Iye, akkaritutuki ri lalengnge, Nak (iya, hati-hati di jalan, Nak)!" jawab ibunya. Ibunya tahu kalau Aditya akan ke Bone, lantaran semalam Aditya telah meminta izin untuk brtemu sama teman-temannya yang akan mengadakan reoni di malam tahun baru, dan ia pun mengizinkannya.

* * *

"Dafah, aku sedang di jalan mau ke Bone, bagaimana persiapan acaranya?" kata Aditya saat telepon itu tersambung.

"Sekarang kau di mana?" Dafah balik bertanya di seberang."

"Masih di bagian Tonra," jawab Aditya, "saya lihat banyak ikan dijual di pinggir jalan." Aditya lantas turun dari motornya. "Bagaimana kalau kita beli sedikit?

"O... , iya!" Dafah terdiam sejenak, sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. "Oyah, kau ada uang, tidak?"

"Ada sih, tapi tidak banyak."

"Cukup buat beli 20 kilo?"

"20 kilo?" tanya Aditya heran.

"Iya, itu malah kurang kali, Dit!" jawab Dafah, "cukup 'gak uangnya?"

"Em... kayaknya cukup."

"Kalau begitu, bellilah 20 kilo! Di sini baru saya gantikan uangnya."

"Iyalah," Aditya menurut saja.

"Eh, ingat, yang masih segar! Jangan sampai beliko ikan yang merah matanya, kayak habis maddoja (begadang) semalaman." Dafah lalu tertawa.

"Iya," jawab Aditya yang juga ikut tertawa kecil. "Eh, di bawa ke mana? Di rumah Nairah atau di rumahmu?"

"Yah, di rumah Nairahlah!"

"Ok!" Aditya lantas mematikan panggilan itu.

Ikan itu, masih terbilang murah jika dibandingkan dengan daerah-daerah yang lainnya. Kecamatan Tonra khususnya; memang banyak menghasilkan ikan bandeng. Bahkan, penambakan ikan itulah yang menjadi matapencaharian utamanya, meskipun sebagiannya juga ikut bertani; menanam padi.

"Bu, ini berapa?" Aditya bertanya ke penjual itu.

"Ini, 10 ribu sekilo, kalau yang ini 15 ribu sekilo, Dek!" jawab penjual ikan itu sambil memperbaiki tatanan ikan itu. Meskipun ia menggunakan bahasa Indonesia, tetapi logatnya itu; sungguh enak didengar. Seakan bernyanyi. Tentunya, Aditya yang telah lama tinggal di Jakarta sedikit merasa ada yang lucu. "Berapa kilo, kita mau, Dek?" lanjut ibu itu.

Iya, begitulah bahasa Indonesian yang berlaku di Bone Sulawesi Selatan; identik dengan kata 'kita'. Jadi, kata 'kita' di Bone sama halnya dengan kata 'kamu', yang mereka yakini: kita adalah bahasa yang lebih sopan dibanding dengan 'kamu'. Meskipun-menurut Aditya-itu salah, tetapi dia tidaklah punya kuasa untuk membetulkan kebiasaan tersebut. Anehnya jika terdengar di luar daripada kota Bone, sudah pasti orang yang sedang diajak bicara akan salah paham.

"Bu, yang lima belas aja, 20 kilo!" Aditya sejenak berpikir: bagaimana cara mebawa ikan sebanyak itu. "Bu, ada kardus?"

"Ada, Dek, nanti saya ambilkan."

Setelah semuanya dimasukkan ke dalam plastik kemudian ditambah lagi dengan kardus. Ikan itu nampak simpel. Aditya lalu membayar dan kemudian mengangkat ikan itu dengan enteng ke motornya.

The Story of SailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang