Sudah dua hari ini Aditya berencana untuk pulang kampung. Ia merasa jenuh di Jakarta. Tidak ada pekerjaan yang dapat ia kerjakan. Terkadang juga ia mencari pekerjaan di kota, tetapi tidak juga dia menemukan, sedangkan menjadi agen asuransi pun ia menyerah. Maka dari itu, ia merasa: mendingan pulang kampung saja dan membantu orang tuanya mengurus perkebunan, serta peternakan milik keluarganya. Meskipun perkebunan dan peternakan itu tidaklah besar, tetapi setidaknya itu bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, serta menyekolahkan Aditya dan adik-adiknya.
Iya, saat ini, kedua Adik perempuan Aditya, yaitu Riani dan Rida sekolah tanpa harus tertunda-tunda lagi sebagaimana dahulunya Aditya. Ibunya telah menyadari itu, dan memilih untuk menunda kesenangan hidupnya asalkan anak-anaknya dapat bersekolah.
"Dit, mau pilih jam berapa?" tanya Imang yang sedang memeriksa harga tiket di situs online.
"Yang paling murah jam berapa, Mang?"
"Emm... paling murah... adanya jam 01:30 dini hari, Dit."
"Kalau dini hari, gua terlalu lama menunggunya di bandara sini."
"Yah sudah, kalau gitu mau lu, jam berape?"
"Jam 12 siang ada?"
"Adanya jam 13.30 WIB," kata Imang. "Berarti lu 'kan sampai di Makassar jam 5 kurang."
"Yang itu, aja, Mang!" jawab Aditya. "Kalau saya sampai sore di Makassar, berarti aku bisa naik mobil yang pulang malam dari Makassar.
"Dit, HP-lu, bunyi!" kata Imang, kebetulan HP itu di-charger di dekat lattopnya Imang.
Mendekatlah Aditya dari tempat tidur, dan meraih teleponnya seraya berkata, "Nomor kantor, siapa, ya?"
"Halo!"jawab Aditya sambil memosisikan telepon itu di telinga kanannya.
"Selamat pagi! Benar dengan bapak Aditya Pratama?" kata orang itu di balik telepon.
"Iya, Pak! Saya sendiri."
"Ini dari kantor Rekrutmen Kapal Pesiar," kata orang yang menelepon itu. "Bapak masih bersedia ikut training?"
"Iya, Pak!" jawab Aditya langsung. "Sudah lama saya tunggui, Pak!" lanjutnya yang kegirangan, jika seandainya bisa, ia akan lompat-lompat di tempat karena terlalu senangnya.
"Baiklah Pak Aditya, jadwal training akan dia adakan minggu depan, jika ada email dari tempat training jangan lupa membalas email itu, bahwa bapak bersedia mengikuti dan datang pada tanggal yang di tentukan di email tersebut!"
"Iya, Pak!" jawab Aditya spontan. Dia mengepalkan tangannya sekuat mungkin seraya berkata dalam hati, "Yes! Yes! Yes!"
"Baiklah, Pak! Terima kasih."
"Sama-sama, Pak." Beberapa detik kemudian panggilan itu terputus.
Aditya jungkir balik di atas kasur seperti anak kecil. Begitulah senangnya, bahkan ia tidak memedulikan Imang. Sesekali dia lompat-lompat kecil, sesekali dia sujud lalu bangkit dan berteriak, "Aku akan training, Mang!"
Imang pun ikut senang mendengarnya lalu menutup lattop-nya. Untung saja belum jadi dia booking itu tiket, ia pun mendekati Aditya. "Dit, santai aja kali!"
"Mang, aku... aku akan training, Mang!" katanya lalu tertawa kembali. "Mang, aku akan training, Mang!"
Imang malah santai saja, bahkan ia tidak menghiraukan sepupunya. Sedangkan Aditya, jika seandainya bisa kesenangan itu ia pinjamkan ke Imang, akan ia lakukan walau sebentar agar Imang tahu dan merasakan kesenangan yang ia rasakan itu.
Mama harus tau –kata Aditya– mama pasti akan senang mendengarnya!
Kemudian ia menelpon ibunya, dan menceritakan semuanya, termasuk kesenangannya saat ini. Ibunya pun terdengar tersedu-seduh, terharu. Bukan hanya Aditya kegirangan dengan kebahagiaan itu, ibunya pun juga demikian –menurut ibunya Aditya– penantian panjang yang ia tunggu selama ini, akhirnya ada juga jawabannya. Doa-doa yang ia panjatkan selama ini, setelah ia sholat tahajjud, setelah ia mengaji, bahkan setiap saat dia mengingat dan mengirimkan doa untuk Aditya, dan pada akhirnya saat ini dikabulkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story of Sailor
General FictionSebagian cerita hanya bisa dibaca oleh pengikut saya. Jadi kalau mau baca cerita secara keseluruhan jangan lupa untuk meng-follow saya terlebih dahulu. Dari kecil, Aditya tidak pernah puas akan pendidikannya. Semangat untuk bersekolah selalu dipata...