Titik terang

996 47 51
                                    

Seberkas informasi dari Bima melalui sms tadi malam, bahwa ada kapal di Makassar yang bersedia menerima cadet prala. Dan, chief officer kapal tersebut ialah alumni satu almamater. Kehangatan dan kesejukan turut terbit di hati Aditya. Besar harapannya untuk memenangkan kesempatan itu.

* * *

Mentari telah condong ke bawah ketika Aditya sampai di tempat galangan (tempat memperbaiki kapal), di Makassar. Tanpa ragu, Aditya langsung naik ke kapal dan bertanya pada salah satu crew di dekat tangga. "Chief Fadli, ada?"

"Ada di kamarnya, tadi," jawab Crew itu. "Ada apa?"

"Mau ketemu," Balas Aditya ragu.

"Sini saya antar." Crew itu sedikit tersenyum. "Eh, maaf, siapa namamu?"

Aditya mengulurkan tangan seraya berkata, "Aditya."

"Ardi" jawab Crew itu sambil menjabat uluran tangga Aditya. "Ayo kita ke kamar Chief Fadli!"

Aditya tersenyum hangat dan mengikut saja.

"Ardi," panggil Aditya dari belakang. "Kok, pakaianmu bersih, tidak sama dengan yang lain, kamu perwira?" Aditya bertanya ragu.

"Ah, bukan!" Ardi tertawa kecil. "Aku pelayan. Masa pelayan harus kotor-kotor."

"Ow!" Aditya pun tertawa kecil dan berusaha menyamakan langkahnya dengan Ardi.

"Eh, itu Chief di dalam," kata Ardi. "Chief ada tamu," panggil Ardi kemudian.

"Ow, iya. Tunggu sebentar," jawab orang yang dipanggil Chief itu.

"O yah, tunggu saja di sini, aku mau lanjut kerja." Ardi tersenyum dan berlalu pergi.

* * *

Kali ini Bima memberikan informasi yang akurat kepada Aditya. Benar adanya, yang disapa dengan chief officer itu adalah senior dari sekolah pelayaran tempatnya Aditya bersekolah. Aditya pernah melihatnya sekali saat pelantikan di sekolah. Kebetulan Chief Fadli hadir di pelantikan tahun lalu. Aditya langsung memberi hormat setelah Fadli menjelaskan, bahwa ia adalah angkatan 10 dari sekolah pelayaran tempat Aditya bersekolah. Sesaat kemudian, Aditya tersenyum seraya menyerahkan dokumen pengantar yang ia bawa dari sekolah.

Fadli masih tertawa menyaksikan tingkah Aditya yang kaku. "Jadi, Bima yang kasih info?"

"Siap Senior!" Aditya tampak tegang.

"Si kacung satu itu berlayar di mana?" tanya Fadli lagi.

"Di Pare Pare Senior."

"Ow," Fadli sedikit mengangguk. "Ya sudah, ayo kita ke anjungan."

"Siap senior," jawab Aditya, kaku. Ia lalu mengikut saja.

Tak membuang waktu banyak, Fadli telah menandatangani surat pengantar itu, dan memberikan kontrak Prala kepada Aditya, yang juga telah ia tanda tangani.

"Kamu tahu, kan?" Fadli terlihat serius bertutur. "Tujuanmu ke sini bukan cari uang, tapi cari ilmu."

"Siap, Senior."

"Oke, tidak usah kau panggil aku senior." Fadli tersenyum simpul. "Panggil saja 'Daeng'. Oke?"

"Siap!"

"Oyah, tidak usah juga bilang siap terus. Di sini kita sama."

"Siap!" Aditya kemudian tersenyum. Begitulah jika kebiasaan telah melekat di kepala. Akan susah untuk mengubahnya. Gelar senior terlalu dijunjung tinggi bagi junior jika bertemu dengan salah seorang seniornya. Itu juga sudah menjadi tradisi yang telah tertanam di setiap benak taruna dan taruni alumni sekolah itu.

The Story of SailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang