Banyak persiapan yang dilakukan Aditya selama sebulan belakangan ini. Termasuk pengurusan segala dokumen yang tertera dalam lis map birunya. Surat keterangan tidak mampu turut ia hadirkan dari kepala desa. Menurut petunjuk yang ada pada berkas itu, surat keterangan tidak mampu akan berfungsi menghematkan pembayaran sekolah.
Dan, pagi ini, di dalam ruangan berukuran lima kali enam meter bujur sangkar. Menjadi tempatnya mempertaruhkan mimpi. Menghadapi penyeleksian calon taruna (catar) adalah hal menegangkan bagi Aditya. Hari inilah yang menjadi penentu. Apakah mimpi itu akan jadi kenyataan, ataukah berbuah kekecewaan semata.
Untuk menghemat biaya dan memenuhi persyaratan. Ia mengenakan baju kemeja putih bekas pakaian sekolahnya dahulu di sanawiah. Dipadukan dengan celana bahan hitam. Bertabrakan langsung dengan sepatu All star warna putih. Usaha itu ternyata membuat penampilannya cukup ganjil di antara catar yang lain.
"Kalau kau lulus seleksi. Besok kau ganti sepatumu warna hitam, ya!" tegur salah seorang taruna tingkat dua.
"Iya, kak!" jawab Aditya patuh.
* * *
Dari antrean yang panjang. Tibalah giliran Aditya yang dipanggil maju ke meja pemeriksaan kesehatan. Gugup dan tegang bercampur aduk menjadi satu. Tubuhnya bergetar takut ketika pemeriksaan berlangsung. Ini pertama kalinya ia melakukan pemeriksaan kesehatan seperti itu.
Setelah semau catar menjalani pemeriksaan kesehatan. Berlanjut ke tahap tes tertulis. Lagi dan lagi Aditya ragu dengan jawaban yang ia berikan. Namun, mau apa lagi, seperti itulah kemampuan yang ia miliki.
Mentari telah tinggi, sinar yang menerpa pun sudah panas. Dengan optimis Aditya ikut berbaris bersama catar yang lain di depan kelas. Tibalah waktunya untuk mendengarkan pengumuman hasil akhir, penentuan. Antara berlanjut ataukah berhenti di situ saja.
Pak Dimas kemudian memberikan arahan. "Setiap nama yang saya sebutkan, dipersilakan masuk ke kelas. Dengan artian nama itu lulus dan sudah resmi menjadi catar."
Mulailah ia menyebutkan nama-nama yang ada dalam daftarnya. Satu per satu, lancar dan beraturan. Setiap nama yang disebutnya langsung ke kelas.
Apa mungkin, tes yang aku kerjakan tidak begitu baik, atau kesehatanku ...? tanya Aditya dalam hati. Seketika Aditya merasa badannya mulai bergetar. Matanya sedikit berkaca-kaca. Ia lalu melirik ke kiri dan kanan. Tinggal tiga orang lagi. Apakah aku yang tidak lulus?
"Di antara kalian, dua orang yang tidak lulus penyeleksian," jelas Pak Dimas kemudian.
Aditya refleks merinding di tengah panasnya terik mentari. Ketegangan menggerogoti tubuhnya. Jika seandainya aku yang tidak lulus, aku akan pulang dan kecewa, terus apa kata mama. Butiran air jernih membendung di pelupuk matanya. Namun, buru-buru ia sembunyikan, lantaran tidak ingin terlihat lemah.
Tidak harus menunggu lama. Pak Dimas kembali berteriak dengan lantang. "Catar yang berhasil lulus dengan nilai tes tertulis sebanyak enam puluh poin, adalah." Ia berhenti beberapa saat. "Aditya Pratama!"
Oh Tuhan...! Aditya senang teramat sangat mendengar pengumuman itu. Ada rasa haru, senang, dan juga sedih, menyatu. Seakan menerawang. Betapa tidak, dia bisa mendapatkan tempat itu.
Sempoyongan Aditya melangkahkan ke kelas. Ia kemudian, duduk di kursi yang yang masih kosong di dekat jendela. Sedikit malu-malu ia berada di ruangan itu. Padahal catar yang lain sudah riuh seperti pasar. Ia membuang pandangannya ke luar ruangan. Terlihat burung kenari bermain-main pada bagian ranting kayu di samping kelas. Kembali ia meneliti sekelilingnya. Suasana kelas itu terlihat seperti hari kebahagiaan. Namun, Aditya tidak. Ia masih mengatur napas, ketegangan batinnya masih belum hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story of Sailor
Fiction généraleSebagian cerita hanya bisa dibaca oleh pengikut saya. Jadi kalau mau baca cerita secara keseluruhan jangan lupa untuk meng-follow saya terlebih dahulu. Dari kecil, Aditya tidak pernah puas akan pendidikannya. Semangat untuk bersekolah selalu dipata...