Sesantai-santainya Aditya selama ini dengan perempuan. Namun, kali ini ia benar-benar tidak menyangka, akan menyaksikan senyum semanis itu. Bahkan, keindahan senja di saat yang bersamaan, tidak ia hiraukan. Sedari tadi fokusnya tertuju kepada gadis di depan kontrakan, yang masih menggunakan seragam sekolah. "Kak, lihat Daeng Sulham?" Gadis itu mendekat tanpa ragu.
"Iya, tadi Kak Farah–istrinya Daeng Sulham–yang nitip pesan, katanya mau ke mini market." Aditya berusaha menjawab setenang mungkin, tetapi getaran suaranya tetap saja terdengar kaku.
"Ow...." Vina kembali memaparkan senyumnya. "Eh, Kak Aditya kan, namanya?"
"Iya, aku Aditya." Aditya sempat tersenyum di sela kekakuannya.
"Kalau gitu saya nunggu di teras aja, Kak!" Gadis itu meninggalkan Aditya begitu saja. Sedangkan Aditya yang ditinggal, masih terdiam kaku. Banyak hal yang ingin ia tanyakan, tetapi tak ada upaya yang bisa dilakukan.
Dari arah jalan Vijay menghentikan motor tepat di depan Aditya berdiri. Bima langsung lompat dari motor. Pandangannya mengarah ke depan kontrakan.
"Hei! Kenapa menganga gitu?" Bima menepuk pundak Bima.
"Gila, Jay... cantik sekali!" Bima berbisik kecil.
"Biasa sajalah!" Vijay sedikit tertawa. "Ayo, masuk!"
Keberanian Bima memang patut diacungkan jempol. Menurut sejarah perjalanan hidupnya, setiap kali dia melihat perempuan yang sebaya. Pasti digodanya, dan anehnya: perempuan yang digoda pun selalu memberi respon positif. Sungguh keberuntungan selalu berpihak kepada si lelaki mata keranjang itu.
* * *
Di ruang tengah, karena tak ada meja makan, Aditya Vijay dan Bima duduk berhadap-hadapan, melantai. Masing-masing di depannya tersaji bungkusan nasi kuning. Bima sempat membeli tadi di warung depan.
"Siapa namanya cewek di depan?" Bima bertanya dengan mengarahkan pandangannya ke Vijay.
"Vina," jawab Vijay. "Kamu suka?" lanjutnya lalu menelan sisa makanan di mulutnya.
"Wah kalau bening kayak begitu, pastilah...!" Bima membalas dengan suara yang tak jelas lantaran mulutnya masih penuh dengan nasi kuning.
Ow... Vina, namanya, kata Aditya dalam hati. Ia seolah tak menghiraukan pembicaraan Bima dengan Vijay. Sesendok nasi kuning kembali ia masukkan ke dalam mulutnya.
"Kalau kau lihat cewek pasti kau bilang begitu," ketus Vijay.
"Ah, tapi ini beda, Jay! Cewek di depan kontrakan itu, benar-benar manis." Bima membela diri penuh semangat, ia lalu tersenyum ke arah Aditya sambil mengunyah. "Jay, bisa kau kirimkan salamku kepada Vina?"
"Iya, besok kuberi tahu kalau ada kesempatan," jawab Vijay malas. "Tapi, kau harus kerjakan tugasku juga. Aku tidak bisa menggambar, soalnya." Vijay tersenyum lalu menenggak habis segelas air minum dan menyudahi makan malamnya. Sedangkan Aditya di tengah-tengah mereka sebagai pendengar setia, turut menyimak. Hatinya terguncang mendengar pernyataan Bima.
"Iya, setelah aku kerjakan punyaku." Bima mengais-ngais sisa makanan di pinggir piringnya.
* * *
Menggambar bendera maritim dari A sampai Z itu benar-benar bukan keahlian Vijay. Dari tadi ia mencoba dan mencoba. Namun, tak ada hasil. Tugas yang diberikan Pak Dimas benar-benar mebuatnya kepayahan. Sedangkan di sampingnya, Bima hampir selesai. Aditya juga demikian, ia telah menggambar bendera itu sampai dengan hurf G.
"Tidak usah repot-repot, Jay. Biar aku yang kerjakan. Asal kau sampaikan salamku sama Vina." Bima tergelak. "Kau, terima jadi."
* * *
Matahari mulai meninggi. Aditya masih saja tertidur pules di kasurnya. Tidak lagi ia mengindahkan pesan orang Bugis terdahulu yang mengatakan: "Aja naseng, iyapa muoto ko pura manengni napitto manu dalle'mu (Janganlah kau baru bangun, setelah semua rezekimu dipatok ayam)."
Ah, terdengar begitu takhayul. Namun jika diteliti dari segi kelogisan, ada benarnya juga. Karena siapa pun yang bangun kesiangan, tidak akan ada kegiatan yang dia lakukan di pagi hari untuk mendatangkan rezeki. Berarti benar, bukan?
"Assalamualaikum!" Walau tidak terlalu jelas, tetapi suara itu dapat didengar oleh Aditya.
"Assalamualaikum!" kembali salam itu terdengar dari luar.
Aditya lalu berusaha bangun. Ia kemudian membuka pintu dan mengintip dari cela pintu yang baru terbuka sekitar sejengkal tanpa menjawab salam tersebut. Aditya tercengang! Vina!!! teriaknya dalam hati.
Aditya kemudian bergegas kembali ke kamar untuk memakai pakaian yang lebih pantas. Hampir Vina melihatnya memakai bokser-bokser saja. Padahal, biasa saja jika seorang berpenampilan seperti itu. Namun, Aditya tidak bisa melakukan hal demikian di depan Vina.
Setelah merasa lebih pantas, ia kembali menemui Vina. Masih dengan ekspresi salah tingkah. "Hai, maaf tadi aku baru bangun," sapa Aditya basa-basi. Sebuah usaha untuk membuat keadaan lebih bersahabat.
"Tidak apa-apa, Kak." balas Vina disertai dengan senyuman yang begitu manis menyapa.
"Ada apa, Dek?" tanya Aditya sambil menahan silau intensitas cahaya dari luar.
"Ini, ada onde-onde–kue khas dari Bugis Bone, yang biasanya disajikan untuk acara syukuran–dari Kak Farah," ujar Vina sambil menyodorkan rantang kecil berwarna hijau.
"Oh, terima kasih," kata Aditya, "Habis ngapain, kok ada onde-onde?"
"Semalam, kak Farah ada syukuran."
"Ow...."
"Tadinya, aku kira enggak ada orang," ujar Vina, "aku kira pulang semua kalau hari Minggu."
"Oh iya." Aditya tersenyum saja.
"Yang satunya mana?"
"Oh, Vijay. Ngantarin Bima, kayaknya. Soalnya udah enggak ada orang di dalam." Aditya meraup mukanya. Ia masih berusaha menahan kegugupan yang tiba-tiba menggerogoti dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story of Sailor
Ficção GeralSebagian cerita hanya bisa dibaca oleh pengikut saya. Jadi kalau mau baca cerita secara keseluruhan jangan lupa untuk meng-follow saya terlebih dahulu. Dari kecil, Aditya tidak pernah puas akan pendidikannya. Semangat untuk bersekolah selalu dipata...