Tempe Tempe

305 21 13
                                    

Aditya menghentikan motornya di pinggir jalan. Ia kemudian mencoba menghubungi Dhyan.

"Halo!" suara perempuan--menurut taksiran Aditya itu adalah ibunya Dhyan--yang mengangkat.

"Iya, Tante, Dhyan-nya ada?" Aditya seakan malu-malu bertanya.

"O... temannya Dhyan?"

"Iya, Tante!"

"Dhyan masih di kamar kecil."

"O... kalau begitu, entar aja saya telepon balik, Tante!"

"Iya," jawab perempuan itu.

Lama juga Aditya berdiam di pinggir jalan, ia sempat membeli minuman dingin dan sebungkus rokok dan korek di kios dekat tempatnya berhenti.

Aditya menghisap rokoknya sampai habis sebatang di atas motornya. Iya, Aditya mulai merokok saat ia training di sekolah kapal pesiar itu. Awalnya ia mengikuti ajakan temannya yang katanya: dengan merokok kita bisa menghilangkan stres.

Padahal di tempat training itu, sama sekali tidak diperbolehkan merokok dalam kawasan sekolah. Jadi, ia harus keluar dari area sekolah setiap ia ingin merokok.

Setelah lima belas menit telah berlalu, ia kembali menghubungi Dhyan.

"Halo!" kata Dhyan setelah panggilan itu tersambung dari deringan beberapa kali.

"Dhyan, aku ada di jalan masuk rumahmu," kata Aditya. Tentu saja, Aditya tahu alamat rumah Dhyan. Karena ia sempat mengantar Dhyan pulang ke rumahnya kemarin, saat pertemuan pertama kalinya. Meskipun ia tidak sempat bersilahturahmi, lantaran keburu Magrib.

"O... terus aja ke rumah kak!" kata Dhyan di seberang. "Masih ingat alamatnya, kan?"

"Iya, aku masih ingat!" jawab Aditya walau sempat nyasar tadinya.

"Aku tunggu di rumah ya, Kak!"

"Iya!"

Tanpa menunggu lagi Aditya langsung memakai helmet-nya dan kaos tangannya. Ia kemudian sedikit menata rambutnya. Penampilan Aditya kali ini tidak kalah cool-nya jika dibanding yang kemarin. Dengan sepatu boot warna coklat yang membuat kakinya terlihat lebih panjang serta baju dalaman warna hitam dengan kerah tinggi yang luarnya dipadukan dengan jaket warna coklat. Dan, semua itu dapat membuat Aditya terlihat sempurna.

"Hai kak!" kata Dhyan lalu tersenyum lebar di hadapan Aditya yang baru saja menghentikan motornya.

Aditya pun turun dari motornya seraya membalas, "Hai!" Aditya lagi-lagi tidak dapat memahami mengapa hatinya berdebar seakan menggetarkan seluruh raga dan jiwanya.

"Tidak nyasar, kan?"

"Tidak," jawab Aditya, "sempat sih tadi sebelum pembelokan di luar."

"O... tapi kan sampai juga, toh?" kata Dhyan lalu tertawa kecil. "Ayo masuk, Kak!"

"Iya," Aditya masih saja merasakan getaran itu, tidak sanggup ia menatap mata Dhyan yang bulat dan bercahaya. Saat ini ia benar telah jatuh cinta lagi.

"Silakan duduk, Kak" kata Dhyan saat mereka telah berada di ruang tamu itu.

Rumah itu tidak juga begitu besar. Namun, terlihat indah karena seluruh perabotan rumah tertata rapi. Terutamanya photo keluarga yang menjadi pajangan di ruang tamu. Terlihat bahwa keluarga Dhyan begitu harmonis. Tidak lama kemudian, keluarlah perempuan dengan senyum yang mirip dengan Dhyan. Namun, ia terlihat sedikit lebih tua dari Dhyan. Perempuan yang Aditya yakini kalau itu adalah ibunya Dhyan, karena photo itu mirip dengan ibu itu. Meskipun dia juga menggunakan busana muslimah, tetapi ia tidaklah seperti Dhyan yang membalut tubuhnya dengan berlapis-lapis baju lengan panjang ditambah dengan kerudung besar. Ibu itu bahkan tidak menggunakan baju lengan panjang; ia hanya menutup bagian atas tubuhnya dengan kerudung besar. "Ini pastinya Aditya, kan?" tebak perempuan itu.

The Story of SailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang