Sari laut

348 26 8
                                    

Ombak menggulung tak menggoyahkan tancapan jangkar di dasar laut. Dari ufuk timur, tampak mentari beranjak naik. Terlihat Perumahan Kampung Bajoe yang membentuk satu kesatuan di bibir pantai.

Lurus dengan moncong kapal, terlihat Pelabuhan Bajoe telah ramai dengan antrean mobil truk sepuluh roda yang siap dimuat ke Kolaka. Sedikit ke kanan, berjejer kapal penangkap ikan yang terikat di Pelelangan. Semilir angin turut berembus dari arah jendela yang terbuka. Dengan penuh semangat Aditya menyapukan wiper kaca itu ke jendela.

"Tidak biasa-biasanya kau membersihkan kaca sepagi ini, Dit." Kapten Khirun melangkah keluar dari kamarnya dan langsung membuka kulkas mini di pojok kiri anjungan.

Aditya menoleh dan tersenyum simpul. Tidak ada jawaban.

"Adit," panggil Kapten Khirun kemudian. "Kalau kau turun, tolong suruh Ardi bawa buah ke anjungan, ya!"

"Iya Kept," jawab Aditya sambil mendekat. "Kept, boleh saya minta turun ke darat?" lanjut Aditya ragu.

"Boleh," jawab Kapten Khirun. "Oh, begini saja, untuk satu trip ini, kau boleh pulang!"

Aditya tersenyum riang. "Jadi Kept, setelah kapal sandar saya boleh pulang dan tidak perlu ikut ke Kolaka untuk satu trip ini?"

"Iya." Kapten Khirun tersenyum lega. "Eh, jangan lupa kasih tau Fadli, ya!" lanjutnya, ia kemudian kembali ke kamarnya dengan membawa segelas air mineral di tangannya.

"Iya, Kept! Makasih banyak." balas Aditya kegirangan. Namun, pintu kamar itu buru-buru tertutup rapat. Begitu saja, kehangatan terpancar dari pipi Aditya. Berbulan-bulan di kapal, dan hanya bisa mendengar suara orang-orang yang disayangi melalui telepon, bukanlah hal yang mudah, tetapi begitulah kehidupan pelaut.

* * *

Ayunan langkah Aditya teratur menyusuri pinggir dermaga. Kadang senyum hangat terbit dengan sendirinya. Dan, di kepalanya hanya ada Vina dan Vina. Laksana kapal yang telah usang mengapung-apung di tengah laut. Kerinduannya ke dermaga tak terbendung lagi. Ia kemudian memperlambat langkahnya sambil memencet sederet nomor telepon sekaligus tombol panggil.

"Halo." Terdengar jawaban Vina di ujung.

"Yank, di mana?" tanya Aditya langsung.

"Di kampus, Yank! Kenapa?"

"Jemput aku di Pelabuhan!"

"Kapan?"

"Sekarang!"

"Ha?" Vina terdengar tidak percaya. "Oh, iya. Kebetulan aku juga udah mau pulang."

"Aku tunggu di pinggir jalan, ya!" Aditya tersenyum dan panggilan itu terputus setelah ia mengucapkan salam.

Aditya berhenti di depan bangunan tua. Terdapat beberapa bangkai kursi halaman. Tampak, tempat itu bekas rumah makan. Tempat parkir terpapar luas di depannya. Sedangkan dari belakang terhampar laut biru Teluk Bone. Sayang sekali tak dimanfaatkan. Padahal jika melihat arus lalulintas dari Pelabuhan ke Kota, tempat itu sangat strategis untuk berniaga.

Tak lama Aditya berdiam di tempat, motor matic berwarna putih merah berhenti di depannya. Tersungging senyum hangat seketika. Kerinduan telah lama terpendam membuat mata seakan haus kekeringan.

Vina membuka helem juga ikut tersenyum riang. "Maaf, Yank, aku agak lama, ya? Di jalan macet soalnya."

"Iya, enggak apa-apa." Aditya kembali tersenyum manis. Tatapan tajam menikmati pemandangan yang begitu ia rindukan. Vina.

"Mau pulang sekarang, Yank?" Vina turun dari motor dan menghirup udara laut di samping Aditya. Cahaya jingga yang tersisa turut memberinya kedamaian.

The Story of SailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang