Di kampung halaman sendiri. Penduduk mayoritas orang Bugis. Yang dulunya banyak memandang Aditya tidak bisa melanjutkan pendidikan karena pemikiran kuno orangtuanya. Martabat direndahkan. Akan tetapi, adakah Aditya menghiraukan? Adakah ia mendengar gosip itu? Tidak sama sekali! Ia tetap menggenggam mimpinya. Dan, terbuktilah saat ini. Bahkan, ia berani menghadirkan cerita baru. Membangkitkan kembali generasi pelaut orde baru. Terbesit pula niat di hatinya untuk membuat nama kampung itu kelak menjadi harum. Menghidupkan sosok pelaut yang termakan zaman itu, kembali bersinar.
* * *
Nyaring bunyi kodok berbalas di sekitaran. Gerimis pun menyapa, dingin menampar lembut, tetapi tak dihiraukan. Aditya tetap berdiam di tempat duduknya, sesekali ia mendongak meneliti bintang yang bersembunyi. Hanya dua tiga bintang yang terlihat. Suasana teras rumah BTN itu, terasa damai. Letaknya memang tidak jauh dari pusat kota, tetapi tiada ubahnya dengan gubuk di tengah hutan. Sunyi dan tenang, sehingga perlahan membuat ingatannya menyelinap ke masa silam.
"Mak, tabbukkani pendatrangnge di SMP (Mah, formulir pendaftaran telah dibuka di SMP)." kata Aditya menggunakan bahasa Bugis. Ketika itu, Aditya masih kecil. Masih jarang sekali anak yang seumuran Aditya dapat berbahasa Indonesia.
"De'gaga doi, Mbe (tidak ada uang, Nak)," jawab Puang Aleng.
Aditya bukannya tak tahu kalau ibunya sanggup menyekolahkannya. Namun, pemikiranlah yang kolot. Akan tetapi, semua itu telah berbeda dengan hari ini, suasana telah berbalik. Semuanya telah berubah. Orang tua yang dulunya paling anti dengan pendidikan. Takut berkorban materi. Telah berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak ada lagi kata keraguan, apalagi penolakan. Melainkan merekalah yang paling antusias memberi dukungan. Tidak ada lagi harta yang disayang-sayangkan demi menyekolahkan Aditya.
Jika saja engkau mendidik anakmu ini seperti orang tua pada umumnya. Mungkin aku akan bernasib sama dengan mereka yang dipaksa untuk menimba ilmu. Namun, apa balasnya? Mereka malah berleha leha. Aditya kemudian meraup mukanya. Terharu sendiri ia mengingat masa kecilnya.
Baru hari ini Aditya merasa sangat beruntung telah digantung-gantungkan pendidikannya. Karena dengan cara itulah ia terus berjuang. Tidak pernah ia bermain-main dengan mata pelajaran di sekolah. Sewaktu sanawiah dulu, nilai rapor Aditya selalu tinggi. Bahkan, ia selalu berada di peringkat satu dan dua.
Memang benar. Di luar sana tidak sedikit anak yang durhaka terhadap orangtuanya. Tidak tahu terima kasih. Begitu keras orangtuanya memfasilitasi demi untuknya bersekolah, tetapi malah tak mengindahkan. Sehingga berdampak kehilangan arah. Lihat saja dampaknya, mereka seakan tak tahu mana yang benar mana yang salah. "Layaknya pucuk aru, ke mana angin yang keras ke sana condongannya". Begitulah kira-kira, sampai tua, ia tidak menciptakan perubahan.
Ma, terima kasih untuk semua ini. Engkau telah memberikan didikan yang begitu sempurna. Aditya benar-benar bersyukur dengan keadaannya yang sekarang.
* * *
Pagi yang cerah, di ufuk timur sang mentari beranjak naik, cahayanya terang menerpa. Sedikit membuat Aditya berkeringat. Calon taruan tingkat satu dan taruna tingkat dua sibuk berlatih untuk acara pelantikan yang akan dilaksanakan pada pukul satu siang nanti.
Sorotan mata Aditya tiba-tiba mendarat ke tempat parkir, dekat kantin. Perhatiannya memusat seraya berkata dalam hati, perasaan, aku mengenal warna 'mobil sedan' itu?
Tidak lama kemudian, turunlah sosok tak asing baginya. Mamah? Ya... benar. Senyum yang disertai butiran air jernih mulai tertahan pada kelopaknya. Mamah, terima kasih! Betapa senang Aditya seketika itu. Hari ini, ia benar-benar akan mempersembahkan keberhasilan pertamanya. Untungnya Aditya hanyalah sebagai pelengkap dalam barisan itu. Pikirannya bebas ke mana-mana. Ia pun berdiri di barisan belakang. Tak ada perannya selain menggenapi barisan.
* * *
Cuaca yang cerah. Sinar sang mentari seakan membakar. Namun, tidak ada yang menghiraukan. Baik tingkat satu maupun tingkat dua, semuanya sibuk mempersiapkan diri demi pelantikan yang akan segera dimulai. Kemeja keramat berwarna putih, berhiaskan pernak-pernik keemasan menjadi pusat perhatian. Begitu sempurna perawakan Aditya hari ini. Seluruh tubuhnya dibalut serba putih.
* * *
Alat pembesar suara yang terpasang di pojok lantai dua berbunyi. Pertanda bahwa pelantikan akan segera dimulai.
Aditya turun melalui anak tangga dengan hati-hati. Tangan kanannya menenteng topi pet pelaut. Tiba-tiba saja, pandangannya terarah ke samping kiri. Ada kebahagiaan membuncah di hatinya. Mamah! ucapnya dalam hati lantas tersenyum.
Puang Aleng duduk di barisan kursi kedua dari depan. Terpancar sinar haru yang tembus ke dinding hati Aditya. Langkah Aditya menjadi perlahan. Lagi-lagi ia kembali teringat masa kecilnya yang bobrok. Namun, saat ini, bahkan dibalut dengan atribut-atribut pelayaran yang menyala keemasan. Mamah! Inilah persembahanku untukmu. Semoga saja apa yang aku cita-citakan saat ini, dapat aku raih kelak.
Sirene kedua kembali berbunyi, menandakan bahwa persiapan barisan untuk pelantikan segera dimulai. Tidak memakan waktu yang banyak, barisan telah rapi seperti yang direncanakan. Hanya selisih beberapa saat. Sirene ketiga kembali berbunyi, sekaligus sebagai isyarat bahwa wakil bupati telah datang tepat waktu.
Barisan pun bergerak pada fungsinya. Membentuk gerbang dan bentangan jalan menuju podium.
Sebuah mobil dinas perlahan berhenti tepat pada mulut barisan. Tak lama kemudian pintu mobil itu terbuka. Turunlah seorang tamu kehormatan itu, bapak Wakil Bupati.
Danion (komandan batalion) tingkat II selaku pemimpin kompi. Memberikan isyarat penghormatan dengan suara lantang. Satu gerakan peserta upacara itu memberi hormat.
Pelan dan tegas Beliau berjalan di antara barisan yang membentang. Sesekali ia menoleh kiri dan kanan hingga sampai pada area pelantikan.
Setelah Pak Wakil Bupati terduduk manis pada kursi yang disediakan. Barisan kembali bergerak dengan lincah. Memaparkan variasi barisan yang indah, sehingga kembali pada posisi semula.
Tibalah pada puncak acara pelantikan itu. Iya, memang tidaklah mudah langkah Aditya untuk sampai ke fase ini. Akan tetapi, semua itu dapat ia lalui dengan sabar. Perasaan haru menggumpal dari dalam jiwa. Seketika ia membayangkan kecintaan Allah terhadapnya.
Perwakilan dari masing-masing angkatan melangkah patah-rapi, menghadap wakil bupati untuk menerima polet (tanda tingkat).
Selesai perwakilan dilantik. Diberilah kesempatan kepada semua orang tua taruna-taruni untuk melantik putra-putrinya masing-masing.
Puang Aleng dengan senyum bangga, ia melangkah pelan menghampiri Aditya. Keterharuan menyelimuti hati antara ibu dan anak itu, berhasil menghadirkan mendung pada kelopak mata.
Sembari Puang Aleng memasang polet di bahu Aditya. Terlihat kedua matanya berkaca-kaca lalu butiran jernih jatuh berlinang, mengalir mengikuti garis-garis muka yang mulai keriput itu.
Mamah, aku akan membuktikan apa yang sedang engkau pikirkan saat ini. Akan kuusahakan agar kelak menjadi kenyataan. Aditya tersenyum haru menyaksikan air mata itu, yang semakin lama semakin banyak berjatuhan.
Selesai Puang Aleng memasang polet di pundak Aditya. Ia lantas memeluk Aditya erat-erat.
"Mah, terima kasih," ucap Aditya yang masih terbenam dalam dekapan Puang Aleng.
"Iye, Nak," jawab Puang Aleng. Dan lalu melepas pelukannya. Ia kemudian mencium pipi Aditya penuh semangat. Air mata haru yang jernih itu masih saja mengalir tak terhiraukan.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story of Sailor
Ficción GeneralSebagian cerita hanya bisa dibaca oleh pengikut saya. Jadi kalau mau baca cerita secara keseluruhan jangan lupa untuk meng-follow saya terlebih dahulu. Dari kecil, Aditya tidak pernah puas akan pendidikannya. Semangat untuk bersekolah selalu dipata...