Bubar

612 39 54
                                    

Semilir angin berembus menggoyangkan dedaunan di taman. Rembulan yang tadinya bersinar terang, redup berangsur tertutup awan yang berpindah-pindah, tak menentu. Aditya yang duduk sendiri di teras asrama, gelisah sedikit tak karuan. Pikiran tertuju pada strategi untuk aksi pemberontakan itu.

Telepon dengan layar hitam-putih tanpa casing bergetar di atas meja. Pemiliknya bersyukur masih bisa menyala dan menerima panggilan. Aditya tersenyum hangat mendapati panggilan tersebut dari nomor seseorang yang telah lama dirindukan.

"Hallo!" sapa Aditya setengah manja.

"Halo, Kak!" Terdengar suara perempuan di seberang. "Kak, lagi sibuk?"

"Tidak!"

"Main ke sini dong, Kak!"

"Ada acara?"

"Tidak ada, aku kangen aja."

"Boleh, saya juga pengen ketemu sama Kiki dan Tentenya." Aditya lalu tertawa geli.

"Aku tunggu ya, Kak! Jangan sampai gagal."

"Iya, aku segera ke sana," jawab Aditya sambil mematikan panggilan itu.

Haruskah aku menemui mantan kekasih saudaraku? Ah, tapi ini undangan, mungkin ada hal penting yang ingin disampaikan Vina. Lagian aku juga kangen dengan senyum itu.

Aditya tahu, bahwa hubungan Bima dengan Vina telah berakhir–Bima yang cerita kepada Aditya dua hari yang lalu. Memang ada rasa senang mendengar kabar itu. Namun, Aditya tetap tidak memperlihatkan kelicikan otaknya. Yah, mau bagaimana lagi? Aditya juga teramat cinta dengan perempuan itu. Aditya kemudian tersenyum ragu. Mendatangi Vina adalah ide yang lebih baik daripada harus memikirkan kejadian esok hari.

* * *

Bunga-bunga berjejer di teras maupun di taman, menambahkan kesan rumah sehat yang sedang menggalakkan penghijauan. Aditya menyempatkan diri menghirup aroma mawar merah yang tercium langsung menyengat lubang hidungnya. Dari balik jendela kaca, terlihat seorang perempuan yang sedang mengintip ke halaman. Pintu itu kemudian terbuka sempurna.

"Hei! Ayo masuk, Kak!" Vina memberi sambutan layaknya seorang adik yang terlalu rindu dengan kakaknya.

"Iya, terima kasih," jawab Aditya datar dan lalu sedikit tersenyum.

"Kok sepi? Daeng Sulham dan Kak Farah ke mana?" tanya Aditya basa-basi.

"Mereka pada keluar," jawab Vina, "Kak, mau minum apa?"

"Tidak usah! Tidak usah repot-repot, aku diajak main kemari saja sudah bersyukur," Aditya lalu tertawa kecil. "Jadi kau memanggilku ke sini untuk apa? Pasti ada niat jahat ini?"

"Tidak ada," Vina tertawa pelan. "Aku hanya ingin kakak ke sini. Emang tidak boleh? Atau kakak takut pacarnya marah, ya?"

"Ada-ada saja," potong Aditya. "Kakak, masih belum punya pacar? Malas pacaran."

"Iya, bener. Aku juga malas!"

"Enggak nanya?" Aditya kemudian tertawa ringan.

"Ih, Kakak!" Vina memukul pelan lengan Aditya.

"Gomong-ngomong kenapa kau bisa putus sama Bima?" Aditya menatap pelan wajah ayu itu. "Ya, aku tau hubungan kali udah berakhir, tapi aku penasaran, kok bisa putus?"

"Play boy."

"Kok gitu?"

"Aku melihat dia jalan sama cewek lain?"

"Ow," Aditya mangguk-mangguk. Ia tahu persis sifat dan kelakuan saudaranya yang satu itu. "Tapi bener, aku penasaran. Kok, kalian malah memilih bubur. Aku ketinggalan berita." Aditya tersenyum hangat.

The Story of SailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang